Rabu, Oktober 05, 2011

Sejarah Masuknya Agama Islam Di Sulawesi Selatan

Rakyat Sulawesi Selatan sudah lama berhubungan dengan Islam sebelum Islam menjadi agama di wilayah itu. Para pelaut dan pedagang Bugis dan Makassar berhubungan dengan masyarakat dagang yang kebanyakan Islam di daerah pantai utara dan barat jawa serta sepanjang Selat Malaka, dan dengan Ternate DI Maluku (yang mengadakan perjanjian persahabatan Kerajaan Gowa). Suatu masyarakat Melayu Islam telah bermukim di Kota Makassar sejak pertengahan abad keenam belas, dan Raja Goa menyambut kehadiran mereka dengan membangun sebuah masjid untuk mereka. Tetapi, daerah itu diislamkan hanya setelah Raja Gowa sendiri, beserta para penasihat terdekatnya memeluk agama Islam pada tahun 1605.

Rakyat di daerah itu berhubungan tidak hanya dengan Islam, melainkan juga dengan agama Katolik Roma lewat para pedagang ini. Ada orang-orang Portugis yang tinggal di Makassar, dan perubahan ke agama Katolik Roma terjadi di sana, juga di sebelah utara di daerah Suppa. Orang-orang Melayu Islam di Makassar, banyak diantaranya telah melarikan diri dari Malaka ketika kota itu jatuh ke tangah Portugis pada tahun 1511, memperingatkan agar waspada terhadap intrik-intrik dan maksud-maksud tersembunyi orang Portugis, dan mungkin merekalah yang mengambil prakarsa untuk mengundang para ulama Islam dating ke Makassar guna mengimbangi kegiatan orang-orang Portugis dalam menarik masyarakat setempat memeluk agama Katolik Roma. Tiga orang ulama tiba di Makassar pada akhir abad keenambelas. Mereka adalah orang Minangkabau dari Kota Tengah, Sumatera Barat, tempat kelahiran sejumlah orang Islam Makassar, dan anggota dari Perhimpunan Chalawatijah di Indonesia yang beraliran sufi ortodoks. Para ulama ini berjasa dengan diislamkannya Raja Gowa beserta paman dan penasihatnya, raja dari Kerajaan Tallo yang berkaitan. Sejak saat itu perkembangan Islam berjalan sangat pesat.

Raja Gowa mengeluarkan seruan kepada para penguasa kerajaan lain agar menerima agama Islam. Seruan itu dikatakan telah didasarkan atas persetujuan terdahulu, bahwa setiap penguasa yang menemukan suatu jalan baru, dan lebih baik, berkewajiban memberi tahu para penguasa lainnya mengenai penemuannya tersebut. Tetapi hanya kerajaan-kerajaan kecil yang memberi tanggapan positif. Dan Gowa, yang khawatir akan diperbaharuinya persekutuan Bone, Wajo, dan Soppeng terhadapnya, menyatakan perang suci terhadap lawan-lawan lamanya. Kerajaan-kerajaan yang keras kepala itu ditaklukkan, Soppeng pada tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam. Hanyalah daerah-daerah pegunungan yang terpencil khususnya daerah Toraja di daerah pedalaman tengah dan daerah Bawakaraeng dan Lompobattang tetap di luar lingkup Islam.

Jadi, Sulawesi Selatan secara resmi masuk Islam, dengan kekerasan senjata kalau perlu. Ini merupakan perubahan kepercayaan masyarakat dari atas ke bawah, dan Islam masih tetap berkaitan dengan bangsawan setempat. Perlindungan kerajaan penting tidak hanya pada awal perubahan kepercayaan, melainkan juga dalam perluasan agama baru itu berikutnya. Tiga orang ulama Minangkabau tadi itu mendirikan pesantren, dan murid-murid mereka meneruskannya dengan mendirikan sekolah-sekolah baru. Para penguasa setempat bertindak sebagai pelindung bagi sekolah-sekolah tersebut. Masjid-masjid didirikan di kota-kota, dan mushalla di desa-desa. Kadi ditunjuk untuk hadat dan penguasa, tempat mereka bertindak sebagai hakim pengadilan agama (syariah). Imam (pengurus masjid) ditunjuk untuk wanua (masyarakat adat); dan guru (Anrong-Guru atau Anre-Guru) merupakan baik guru yang menyiarkan agama baru itu ke desa-desa maupun pejabat terendah dalam hierarki administrasi Islam. Guru menjadi anggota cabang pengadilan agama yang dikepalai Imam. Sanak kerabat kerajaan atau para bangsawan tinggi biasanya diangkat ke kedudukan kadi dan Imam. Agaknya, tidak ada ulama di sini, seperti halnya kiai di Jawa, di luar hierarki pemerintahan. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara aristokrasi dan para pemimpin Islam.

Tampaknya, sejak semula rakyat Sulawesi Selatan memenuhi kewajiban ritual Islam dengan taat, sehingga belakangan digambarkan “fanatik”, apapun kedalaman pengertian mereka mengenai ajaran-ajaran agama tersebut. Seorang pengunjung Prancis ke Makassar pada masa itu berkomentar:
….tidak bisa dibayangkan, dengan ketepatan apa orang-orang Makassar menjelaskan tugas-tugas yang diperintahkan oleh agama baru mereka.
Belakangan para pengulas Belanda mencatat penjajaran ketaatan yang teliti terhadap kewajiban ritual ini, dengan pengetahuan yang dangkal mengenai agama itu sendiri.



Perkembangan Islam yang cepat di Sulawesi Selatan dipermudah dengan kenyataan bahwa aliran Islam sufi yang bersifat mistiklah yang dibawa oleh ulama Minangkabau itu. Kesesuaian aliran sufi yang bersifat mistik dengan kepercayaan-kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia sudah sering dikemukakan; dan Sulawesi tidak merupakan perkecualian. Kepercayaan-kepercayaan yang lebih lama dan bersifat animistik pada kekuatan pembawaan makhluk, yang hidup dan mati, dan kekuatan benda-benda (terutama batu, sebagaimana di banyak tempat di Asia Tenggara) terus dipertahankan oleh banyak orang, dan upacara-upacara yang mencerminkan kepercayaan ini dan pengaruh agama Hindi-Budha kemudian, masih terus dilaksanakan sampai jauh dalam abad kedua puluh. Yang terutama mempunyai arti penting adalah diteruskannya pemujaan tanda-tanda kebesaran kerajaan, yang menjadi pusat kohesi spiritual masyarakat.

Tidak ada pemutusan yang tajam dengan kepercayaan dan kebiasaan lama karena orang memilih dari agama baru itu yang sama-sama yang tampak sesuai atau meyakinkan bagi mereka. Islam memberikan alternatif terhadap cara-cara biasa untuk melakukan sesuatu; kadang-kadang ajaran Islam menggantikan apa yang telah dilakukan sebelumnya, kadang-kadang peraturan baru dikesampingkan; dan kadang-kadang suatu sintesa barupun terciptalah. Dengan jalan ini kebiasaan dan kepercayaan Islam bercampur dengan apa yang sudah ada, dan bagian-bagian dari hukum Islam menjadi satu dengan praktek yang sudah lazim berlaku dalam masyarakat.

Di Sulawesi Selatan, Islam telah berjasa dalam membatasi kekuasaan tidak terbatas para raja, yang membuatnya lebih mudah bagi rakyat umum untuk mendekati mereka, dan yang menerapkan sedikit keluwesan dalam peraturan-peraturan kelas untuk perkawinan. Tetapi, adat adalah kewenangan terakhir; karena hadat-lah (yang pada hakikatnya adalah dewan adat) yang dapat memperkuat atau membatalkan keputusan pengadilan agama oleh Kadi. Kadi dan Imam lebih sering merupakan penasihat daripada anggota hadat, dan mungkin karena mereka pada umumnya adalah sanak keluarga penguasa seringkali mereka lebih memperhatikan keinginan-keinginannya daripada aturan-aturan hukum Islam.

Menjelang awal abad kedua puluh terdapat suatu sistem pengadilan Islam yang luas di Sulawesi Selatan, dengan yurisdiksi atas persengketaan yang mencakup perkawinan, perceraian, dan pewarisan. Tetapi, hukum yang mereka gunakan merupakan campuran dari hukum Islam dan hukum adat.

sumber: http://kampungbugis.com

Tidak ada komentar: