1. Wali Quthub al-Aqthab atau Wali Quthub al-Ghauts
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali
diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali
ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.
2. Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub
jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bergelar
Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bergelar
Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.
3. Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata
angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di
Kaabah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar
Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdul Murid.
4. Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika
meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali
Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang
kitab al-Futuhatul Makkiyyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu
(Muhyiddin ibnu ‘Arabi) mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan
ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Muhyiddin
ibnu ‘Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Sahabat
Muhyiddin ibnu ‘Arabi yang bernama Abdul Majid bin Salamah mengaku
pernah juga bertemu Wali Abdal bernama Muâ’az bin al-Asyrash. Beliau
kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia
menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan
mengasingkan diri dari keramaian.
5. Wali Nuqobaa
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah
memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan
segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali
Nuqobaa melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka
mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.
6. Wali Nujabaa
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.
7. Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang
yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada
zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair ibnu Awam. Allah
menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan
ketekunan dalam beribadah.
8. Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab.
Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara
mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin
seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat
bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh
kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak
berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru
berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.
Berbagai rahasia kebesaran Allah
tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan
Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.
Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan
terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula.
Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya
sehari-hari sebagai pedagang.
9. Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap
masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan
ummat nabi Muhammd saw.
Jumlah para Auliya yang berada dalam
manzilah-manzilah ada 356 sosok, yang mereka itu ada dalam kalbu Adam,
Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan
1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi
karena adanya hadits yang menyebut demikian.
Sedangkan menurut Syaikh al-Akbar
Muhyiddin ibnu ‘Arabi (menurut beliau muncul dari mukasyafah) maka
jumlah keseluruhan Auliya yang telah disebut diatas, sampai berjumlah
589 orang. Diantara mereka ada satu orang yang tidak mesti muncul setiap
zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammadi, sedangkan yang lain
senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah.
Al-Khatamul Muhammadi pada zaman ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi), kami
telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan
kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H.
Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya,
yaitu para Wali: Ummahat, Aqthab, A’immah, Autad, Abdal, Nuqaba dan
Nujaba.
Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak
menyandang Khatamul Auliya sebagaimana gelar Khatamun Nubuwwah yang
disandang oleh Nabi Muhammad saw?.
Ibnu Araby menjawab :
Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah
menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Nabi Isa
Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun
di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan
penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia
disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi
Muhammad saw sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian
Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Nabi Isa,
sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka
turunnya Nabi Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tetapi
aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad saw, bergabung dengan para Wali
dari ummat Nabi Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka
kita.
Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam as.
Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Nabi Isa, sebagai Nabi Ikhtishah
(kekhususan), sehingga Nabi Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar
dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar
bersama para Rasul dan para Nabi.
Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (zaman Muhyiddin ibnu
‘Arabi) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan
sejati. Saya kenal di tahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang
diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya,
dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Penutup
Kewalian Muhammadiyah darinya. Dan Allah telah mengujinya dengan
keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam
sirr-nya.
Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah
Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian
Muhammadi, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari
para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Nabi
Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul
Auliya’ Muhammadi, dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu
Muhammad saw. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah.
Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu,
ada pada Nabi Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan
sebagai Wali pada Kalbu Nabi Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam
Kalbu para Rasul lainnya.
Dilain tempat, Ibnu ‘Arabi mengatakan
bahwa dirinyalah yang menjadi Segel (Penutup) Kewalian Muhammad.
Beberapa wali yang pernah mencapai derajat wali Quthub al-Aqthab (Quthub
al-Ghaus) pada masanya :
- Sayyid Hasan ibnu Ali ibnu Abi Thalib
- Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz
- Syaikh Yusuf al-Hamadani
- Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
- Syaikh Ahmad al-Rifa’i
- Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy
- Syaikh Ahmad Badawi
- Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
- Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi
- Syaikh Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi
- Syaikh Ibrahim Addusuqi
- Syaikh Jalaluddin Rumi
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Beliau pernah berkata Kakiku ada diatas kepala seluruh wali.
Menurut Abdul Rahman Jami dalam kitabnya yang berjudul Nafahat Al-Uns,
bahwa beberapa wali terkemuka diberbagai abad sungguh-sungguh meletakkan
kepala mereka dibawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Syaikh Ahmad al-Rifa’i
Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam Nabi
Muhammad Saw, maka nampak tangan dari dalam kubur Nabi bersalaman dengan
beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi SAW yang mulia itu.
Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke
Maqam Nabi Saw tersebut. Salah seorang muridnya berkata :
“Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Quthub”.
Jawabnya; “Sucikan olehmu syak mu daripada Quthubiyah”. Kata murid:
“Tuan Guru adalah Ghaus!”. Jawabnya: “Sucikan syakmu daripada
Ghausiyah”.
Al-Imam Sya’roni mengatakan bahwa yang
demikian itu adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad al-Rifa’i telah melampaui
“Maqamat” dan “Athwar” karena Qutub dan Ghauts itu adalah Maqam yang
maklum (diketahui umum).
Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal
dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang
sangat parah untuk menangung bilahinya para makhluk. Sabdanya, Aku telah
di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging
harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit
yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, “Sisa umurku akan
kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk.
Kemudian beliau menggosok-ngosokkan
wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan
beristighfar . Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit
“Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar
dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada
yang tanya, Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana ya
kanjeng syaikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum.
Beliau menjawab, Karena ini semua
dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan
keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika
wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus
berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian mulia
dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita
sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain.
Wafatlah Wali Allah yang berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada
hari Kamis waktu duhur 12 Jumadil Awal tahun 570 Hijrah. Riwayat yang
lain mengatakan tahun 578 Hijrah.
Syaikh Ahmad Badawi
Setiap hari, dari pagi hingga sore, beliau menatap matahari,
sehingga kornea matanya merah membara. Apa yang dilihatnya bisa
terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih sering
menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia
suka berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak
terisi makanan dan minuman. Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan
bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi dengan seseorang. Ia tak
sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat.
Pada usia dini beliau telah hafal
Al-Quran, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada syaikh Abdul
Qadir al-Jailani dan syaikh Ahmad Rifai. Suatu hari, ketika beliau telah
sampai ketingkatannya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, menawarkan
kepadanya: “Manakah yang kau inginkan ya Ahmad Badawi, kunci Masyriq
atau Maghrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang sama juga diucapkan oleh
gurunya Syaikh Ahmad Rifai, dengan lembut, dan karna menjaga tatakrama
murid kepada gurunya, ia menjawab; Aku tak mengambil kunci kecuali dari
al-Fattah (Allah ).
Peninggalan syaikh Ahmad Badawi yang sangat utama, yaitu bacaan shalawat badawiyah sughro dan shalawat badawiyah kubro.
Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti
keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya
digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang
tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan
pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah
(fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri
dan amalnya.
Di antara keramatnya para Shiddiqin ialah :
1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).
2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.
Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.
Beliau pernah dimintai penjelasan
tentang siapa saja yang menjadi gurunya. Kemudian beliau menjawab,
Guruku adalah Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku
sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari
Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Usman bin Affan r.a
dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat
Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung.
Beliau pernah berkata, Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya
muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang,
semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan
oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang
akan terjadi besok sampai hari kiamat. Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi
berkata, Aku setiap malam banyak membaca Radiyallahu’an Asy-Syekh Abul
Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang
menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku.
Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad saw. dan aku bertanya, Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu
berwasilah membaca Radiya Allahu ˜An Asy-Syaikh Abu Hasan dan aku
meminta apa saja kepada Allah swt, apa yang menjadi kebutuhanku lalu
dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?. Lalu
Nabi saw menjawab, Abu Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian
yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawassul
kepada Abu Hasan, maka berarti dia sama saja bertawassul kepadaku.
Peninggalan syaikh Abu Hasan asy-Syazili
yang sangat utama, yaitu Hizib Nashr dan Hizib Bahar. Orang yang
mengamalkan Hizib Bahar dengan istiqomah, akan mendapat perlindungan
dari segala bala. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau
menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si
penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan
menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia
akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah
menegurnya. Hizib Bahar ditulis syaikh Abu Hasan asy-Syazili di Laut
Merah (Laut Qulzum).
Di laut yang membelah Asia dan Afrika
itu syaikh Abu Hasan asy-Syazili pernah berlayar menumpang perahu. Di
tengah laut tidak angin bertiup, sehingga perahu tidak bisa berlayar
selama beberapa hari. Dan, beberapa saat kemudian Syaikh al-Syadzili
melihat Rasulullah. Beliau datang membawa kabar gembira. Lalu, menuntun
syaikh Abu Hasan asy-Syazili melafazkan doa-doa. Usai syaikh Abu Hasan
asy-Syazili membaca doa, angin bertiup dan kapal kembali berlayar.