Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada
Nabi SAW membawa daging matang seraya berkata, “Ya Rasulullah,
terimalah ini untuk para fakir miskin yang membutuhkannya.”
Pada waktu itu, para fakir miskin yang ada
di Masjid Nabawi sudah makan malam. Nabi SAW bertanya kepada mereka,
“Adakah di antara kalian yang masih mau makan daging itu?”
Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.
Bukankah kami sudah makan malam?”
Rasulullah SAW kemudian menyuruh Abu
Hurairah RA mengantarkan daging itu kepada Ummul Yatama, seorang wanita
yang ditinggal suaminya dan mempunyai beberapa anak.
Setiba di rumah ibu itu, Abu Hurairah mengetuk pintunya. Ibu itu bertanya, “Siapa di luar?” Ia menjawab, “Saya, Abu Hurairah. Saya diutus Rasulullah untuk mengantarkan daging matang untukmu dan anak-anakmu.”
Namun, ibu itu berkata dengan ramah, “Sampaikan salamku untuk Rasulullah SAW. Semoga beliau dan Anda mendapat balasan yang setimpal atas kemurahan ini. Aku dan anak-anakku, alhamdulillah sudah makan. Mereka kini sudah tidur semua.”
Abu Hurairah masih mau memaksanya. “Terima saja ya Ummul Yatama, besok pagi kalau anak-anakmu bangun tidur berikanlah daging ini.” Na mun, ibu itu menolak. “Wahai Abu Hurairah, siapa yang menjamin bahwa kami akan hidup hingga esok pagi? Bawa saja daging itu dan berikan kepada orang yang lebih fakir dari kami.”
Kita sering tenggelam dalam pesona dunia, teperdaya oleh gemerlapnya, dan terpagut oleh godaan syahwatnya. Hal ini sering meninabobokan banyak orang sehingga lupa akan kematian. Awareness of the death (kesadaran akan kematian) diredam sedalam-dalamnya sehingga yang muncul adalah beragam perilaku perlawanan terhadap kehendak Tuhan.
Setiba di rumah ibu itu, Abu Hurairah mengetuk pintunya. Ibu itu bertanya, “Siapa di luar?” Ia menjawab, “Saya, Abu Hurairah. Saya diutus Rasulullah untuk mengantarkan daging matang untukmu dan anak-anakmu.”
Namun, ibu itu berkata dengan ramah, “Sampaikan salamku untuk Rasulullah SAW. Semoga beliau dan Anda mendapat balasan yang setimpal atas kemurahan ini. Aku dan anak-anakku, alhamdulillah sudah makan. Mereka kini sudah tidur semua.”
Abu Hurairah masih mau memaksanya. “Terima saja ya Ummul Yatama, besok pagi kalau anak-anakmu bangun tidur berikanlah daging ini.” Na mun, ibu itu menolak. “Wahai Abu Hurairah, siapa yang menjamin bahwa kami akan hidup hingga esok pagi? Bawa saja daging itu dan berikan kepada orang yang lebih fakir dari kami.”
Kita sering tenggelam dalam pesona dunia, teperdaya oleh gemerlapnya, dan terpagut oleh godaan syahwatnya. Hal ini sering meninabobokan banyak orang sehingga lupa akan kematian. Awareness of the death (kesadaran akan kematian) diredam sedalam-dalamnya sehingga yang muncul adalah beragam perilaku perlawanan terhadap kehendak Tuhan.
Iringan peti jenazah yang melintas di
hadapannya sama sekali tak menorehkan kesan dalam relung jiwanya untuk
mempersiapkan diri de mi suatu ke adaan saat jabatan dan status sosial
tak berarti lagi.
Ummul Yatama (ibu para yatim), seperti yang dituturkan di atas, mengajarkan betapa pentingnya mengingat kematian. Padahal, mengingat mati bisa meniupkan spirit besar untuk membawa perubahan positif bagi seseorang.
Ummul Yatama (ibu para yatim), seperti yang dituturkan di atas, mengajarkan betapa pentingnya mengingat kematian. Padahal, mengingat mati bisa meniupkan spirit besar untuk membawa perubahan positif bagi seseorang.
Itulah sebabnya banyak orang yang secara
medis divonis dokter bahwa peluang hidupnya begitu kecil, akan makin
merunduk dan patuh kepada Tuhannya. Dengan begitu, ia menjadi gemar
menebarkan kebajikan.
Inilah orang yang disebut Nabi sebagai orang yang kayyis (cerdas). Dia gigih menunaikan amal untuk kehidupan setelah mati, dia memahami tempat yang lebih baik untuk diper siap kan.
Ibnu Umar RA bertutur, “Suatu saat aku datang kepada Nabi SAW yang tengah berada di tengah-tengah jamaah yang jumlahnya 10 orang. Seseorang dari kalangan Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia, wahai Rasulullah?’
Beliau menjawab, ‘Orang yang paling rajin mengingat mati dan orang yang paling baik persiapannya dalam menghadapinya. Itulah orang yang paling cerdas, yang akan memperoleh kehormatan di dunia dan kemuliaan di akhirat kelak.”‘ (HR Ibnu Majah).
Inilah orang yang disebut Nabi sebagai orang yang kayyis (cerdas). Dia gigih menunaikan amal untuk kehidupan setelah mati, dia memahami tempat yang lebih baik untuk diper siap kan.
Ibnu Umar RA bertutur, “Suatu saat aku datang kepada Nabi SAW yang tengah berada di tengah-tengah jamaah yang jumlahnya 10 orang. Seseorang dari kalangan Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia, wahai Rasulullah?’
Beliau menjawab, ‘Orang yang paling rajin mengingat mati dan orang yang paling baik persiapannya dalam menghadapinya. Itulah orang yang paling cerdas, yang akan memperoleh kehormatan di dunia dan kemuliaan di akhirat kelak.”‘ (HR Ibnu Majah).
sumber: http://www.republika.co.id
Oleh : Makmun Nawawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar