Karena sikap tawhid ini merupakan sikap mental (hati), hati yang
kurang stabil akan menyebabkan sikap ini: mudah berubah-ubah. Oleh
karena itu do'a yang dianjurkan agar selalu dibaca ialah: "Wahai
Pembolak-balik hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu, dan atas ta'at
akan Dikau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku ini termasuk orang yang
menzhalimi diriku."
1. Penyakit Ria
Sangatlah
perlu kita sadari beberapa kelemahan yang ada dalam diri kita sendiri.
Dengan mengetahui serta menyadari adanya kelemahan dalam diri kita ini
semoga kita dapat lebih mudah mengatasi dan mengontrolnya.
Kelemahan-kelemahan ini pun disinyalir oleh Allah sendiri dalam
al-Qur'an sebagai peringatan bagi manusia. Contohnya:
"Sesungguhnya proses terjadinya manusia (membuatnya) tak stabil. Bila mendapat kegagalan lekas berputus asa. Bila mendapat kemenangan cepat menepuk dada." (Q.70:19.21)
Ciri manusia seperti yang dikatakan
al-Qur'an ini membuat manusia senantiasa merasa cemas akan wujud
dirinya. Hal ini bisa difahami jika kita suka mengenang kembali
Asal-usul kejadian kita. Setiap manusia berasal dari air mani yang
ditumpahkan oleh ayahnya ke dalam rahim ibunya.
Menurut ilmu
kedokteran, setiap cc (centim.eter cubic) air mani ini mengandung
seratus juta bibit manusia yang bernama spermatozoa, yang bentuknya
seperti jarum pentul dengan kepala yang besar dan berekor panjang yang
dapat digerak-gerakkan untuk berenang. Dalam setiap kali bersenggama
seorang laki-laki yang sehat rata-rata mengeluarkan sebanyak dua
setengah cc air mani atau sebanyak 250 juta spermatozoa.
Setiap
ekor spermatozoa ini mempunyai sejumlah gene yang mengandung tabi'at
dan sifat serta bakat serta jenis kelamin masing-masing. Sedang di dalam
rahim ibu biasanya hanya menunggu sebuah sel telur (ovum). Maka setiap
manusia pada dasarnya berasal dari satu sel telur, yang menunggu di
dalam rahim ketika suami isteri bersenggama, dari salah satu dari 250
juta spermatozoa tadi.
Jadi menurut teori kemungkinan, maka
kemungkinan terjadinya seseorang sebagai pribadi dengan bakat dan watak
tertentu ialah 1/250 juta, yang dalam ilmu pasti biasanya dianggap
sama dengan nol.
Keseluruh spermatozoa yang 250 juta ini harus
berjuang mati-matian berenang dari mulut rahim menuju tempat sel telur
yang menunggu di mulut pipa fallopi. Pipa fallopi
(Fallopian
tube) ialah pipa yang menghubungkan sarang telur dengan rahim. Yang
paling dulu sampai dan masuk ke dalam sel telur itulah yang menjadi
embryo manusia. Spermatozoa lainnya (yang 250 juta kurang satu) akan
terbuang dan mati tanpa meninggalkan bekas dan makna. Padahal jika
ketika itu sedang ada dua atau tiga sel telur di dalam rahim itu, maka
akan terjadi dua atau tiga bayi yang kembar.
Maka yang terbuang
karena terlambat sampai tadi, hilang, tak pernah disebut-sebut, padahal
setiap ekornya sudah punya potensi dan bakat serta pribadi
masing-masing. Inilah barangkali yang dimaksudkan Allah agar kita
mencoba merenungkan dan mcnilai kehadiran kita di dunia ini dengan
firman-Nya:
"Bukankah telah berlalu bagi manusia suatu masa, bahwa wujudnya tiada bernilai untuk disebut-sebut? Sesungguhnya telah kami jadikan manusia itu dari setetes mani campuran, untuk mengujinya; lalu Kami anugerahi pendengaran dan penglihatan." (Q.76:1,2)
Dari proses ini dapatlah difahami betapa
manusia menurut asal-usulnya tiada bernilai sama sekali, bahkan
kepastian wujudnya pun hampir nol (satu per dua ratus lima puluh juta).
Padahal, dengan kehendak Allah SWT manusia telah diangkat menjadi
wakil atau khalifah-Nya di muka bumi. Kedua kenyataan ini telah membuat
manusia merasa tidak pasti akan dirinya, karena merasa berada di
tengah-tengah antara keduanya.
Kenyataan yang pertama berupa
kehinaan (insignificance = tidak berarti), sedangkan kenyataan kedua
berupa kemuliaan, yang bagi sebahagian besar manusia baru merupakan
harapan, yang masih perlu diperjuangkan. Jarak antara hakikat
(kenyataan) dan hasrat asli manusia ini menyebabkan ketidak stabilan
watak (sikap mental) manusia. Semakin jauh jarak ini semakin tidak
stabil wataknya; sebaliknya semakin dekat jarak ini semakin stabillah
wataknya.
Mereka yang tidak stabil akan sangat membutuhkan
pengakuan dan pujian atau penghargaan. Dengan perkataan lain, pada
dasarnya setiap manusia sangat senang, bahkan akan berbuat apa saja
yang mungkin sekadar untuk mendapat penghargaan dan pengakuan (approval
and recognition). Inilah pokok pangkal dari sifat ria (ingin dipuji).
RasuluLlah memperingatkan, bahwa ria ini syirik khafi (syirik kecil).
Tapi syirik kecil ini akan mudah menjadi besar jika lepas dari kontrol.
Pada mulanya sikap ini timbul sebagai 'ujub, yang artinya heran atau
kagum, yaitu heran atau kagum akan kebolehan atau kehebatan diri.
Sikap ini biasanya timbul ketika orang baru selesai melakukan sesuatu
yang mendapat perhatian dan kekaguman orang banyak. Di dalam hati akan
timbul perasaan: "Wah, pintar juga saya ini". Inilah yang dinamakan
'ujub, dan sikap inilah ibarat "bunga"-nya.
Jika dalam keadaan
masih "bunga" ini tidak segera dihapuskan, maka ia akan tumbuh menjadi
"putik" nya, yaitu "ria". Jika ria tadi dibiarkan tumbuh terus, maka ia
akan menjadi "buah", yang dinamai "kibir" atau "takabur" yang artinya
membesarkan diri atau sombong. Inilah sifat Namrud dan Fir'aun yang
sangat dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu RasuluLlah pun pernah
bersabda:
"Tidak mungkin masuk surga seseorang yang punya penyakit kibir walaupun sebesar zarah." (Muslim dan Tirmidzhi).
Cara mengontrol sikap ria ini ialah dengan berusaha senantiasa
mengenang (zikir akan) Allah SWT, dan terus menerus menyadarkan diri,
bahwa yang berhak mendapat pujian dan pujaan hanyalah Allah semata.
Bacaan tahmid (AlhamduliLlah = segala puji hanya bagi Allah) hendaklah
dibiasakan, terutama di saat-saat yang menggembirakan, ketika mendapat
berita yang baik maupun ketika mendapat sesuatu yang menyenangkan hati
terutama ketika dihargai atau dipujikan orang. Tahmid yang keluar dari
hati yang ikhlash pasti akan mempertebal rasa tawhid dan menipiskan
sifat ria.
Saidina 'Ali RA pernah agak marah kepada seseorang
yang suka memuji beliau dengan mengatakan: "Ana a'lamu bimaa fii
nafsii", yang artinya: "Aku lebih mengetahui tentang diriku". Dengan
teguran itu beliau telah menyatakan, bahwa beliau tak perlu dipuji,
karena pujian itu hanya hak Allah SWT. Lagi pula pujian itu mungkin
akan merusak mental yang dipuji.
2. Penyakit Ananiah (Egoisme)
Kemungkinan kedua bagi mereka yang belum stabil sikap
pribadinya, selain sikap ria tadi, ialah manusia menempuh jalan pintas.
Rasa tidak pasti tadi diatasinya dengan mementingkan diri. Sikap
mementingkan diri ini memang sudah ada benihnya pada setiap pribadi.
Sikap ini tumbuh di dalam perjuangan "to be or not to be", atau
perebutan hidup atau mati ketika manusia masih berbentuk spermatozoa
yang memperebutkan satu-satunya ovum yang tersedia di dalam rahim ibu
tadi.
Memang tidak bisa disangkal, bahwa manusia tidak akan
mungkin lahir ke muka bumi ini jika ia tidak mendahulukan dirinya dari
yang lain. Demi mendapatkan wujudnya, spermatozoa tadi telah terpaksa
mendahulukan dirinya ketimbang sperma lain, yang seyogianya akan
menjadi saudara kembarnya sedarah sedaging seandainya di rahim ibu
ketika itu tersedia lebih dari satu ovum. Namun situasi telah
memaksanya mendahulukan dirinya, jika tidak maka ia akan hilang tanpa
dikenang (lam yakun syaian mazkuuran Q. 76:1), sebagaimana telah
diterangkan di atas (lihat E.1).
Memanglah manusia ini
dilahirkan sebagai individu yang bebas dan unique. Perangai
mendahulukan diri terhadap orang lain ini kenyataannya memang perlu,
jika manusia ingin terus wujud di dunia ini. Hak mendahulukan diri ini
pun diakui dan dibenarkan oleh Allah SWT, namun ada tempat dan
batasnya. Hak ini, yang biasa disebut hak-hak pribadi (privacy), jelas
diakui sepenuhnya oleh Allah SWT.
Hak mementingkan atau
mendahulukan kepentingan diri ini dianjurkan Allah agar disalurkan
kepada usaha lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah)
dengan 'ibadah yang lebih banyak dan lebih ikhlash. Usaha meningkatkan
kualitas iman sedemikian sehingga mencapai tingkat taqwa yang istiqamah
sangatlah digalakkan oleh RasuluLlah SAW, dan diulang-ulang di dalam
al-Qur'an.
Di samping itu kita pun diwajibkan pula menghormati
hak individu orang lain. Misalnya di dalam al-Qur'an diterangkan, bahwa
jika akan berkunjung ke rumah orang lain, maka kita diharamkan
memasuki rumah orang itu sebelum mendapat izin terlebih dahulu dari
penghuni rumah. Caranya minta izin itu ialah dengan memberi salam, dan
menunggu jawaban. Jika sesudah tiga kali memberi salam tidak juga
mendapat jawaban, maka itu tanda bahwa kita tidak diterima oleh yang
punya rumah, maka kita wajib membatalkan niat akan berkunjung itu. Ini
salah satu hukum yang menjamin kemerdekaan dan hak individu.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuki rumah yang bukan rumahmu, kecuali sesudah mendapat izin dari, dan sesudah mengucapkan salaam kepada penghuninya. Hal ini terbaik bagi kamu jika kamu mengerti. Sekiranya tidak Kamu dapati seorang pria pun di dalamnya, maka jangan kamu masuki sampai kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu 'pergilah' maka hendaklah kamu pergi; yang demikian itu lebih bersih buat kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tindak tandukmu." (Q. 24 : 27,28).
Kenyataan lain yang harus pula diakui oleh
manusia ialah, bahwa ia tak mungkin hidup sendiri di muka bumi ini.
Setiap orang membutuhkan yang lainnya. Oleh karena itu Allah telah
rnenciptakan hukum yang menentukan batas-batas antara pemenuhan
kepentingan diri terhadap kepentingan bersama (masyarakat) secara
seimbang dan serasi (harmonis).
Kita lahir sebagai individu, dan
akan mati sebagai individu. Di dalam masa hidup yang kita tempuh di
antara lahir dan mati itu kita akan terikat oleh ketentuan-ketentuan
bermasyarakat, yang tak mungkin pula kita abaikan demi kelestarian
hidup bersama itu.
Batas-batas antara kedua kepentingan ini akan sangat
sukar jika harus ditentukan oleh manusia sendiri, karena setiap diri
akan cenderung lebih mendahulukan kepentingan dirinya terhadap
kepentingan orang lain. Setiap orang cenderung akan berpikir subjective
apabila menyangkut kepentingan dirinya. Oleh karena itulah, maka
peranan hukum Allah, Yang Maha Mengetahui akan lekak-liku jiwa manusia,
dalam hal ini muthlak perlu.
Orang yang belum stabil sikap
pribadinya cenderung mengabaikan ketentuan Allah ini, karena kurang
yakinnya ia akan keperluannya. Maka ia menempuh jalan pintas, yang
berupa ananiah tadi, demi memenuhi kebutuhannya akan kestabilan
pribadi. Namun di sini pulalah terletak kegagalannya. Sikap ananiah ini
akan mendorongnya ke arah ekstreem, sehingga mempertuhankan dirinya
sendiri, maka hancur-leburlah tawhidnya oleh karenanya. Ia lantas
membesarkan, bahkan mengagungkan dirinya terhadap orang lain
sekitarnya. Maka terkenallah ia sebagai orang yang sombong dan angkuh,
sehingga dibenci oleh masyarakatnya.
Oleh karena itu, sikap
ananiah ini dikutuk Allah dengan tajam sekali. Tokoh sejarah yang
pernah besar dan kemudian dihancurkan Allah, karena sikap ini, banyak
diceritakan di dalam al-Qur'an. Antara lain Fir'aun, Namrud, Samiri, Abu
Lahab dan lain-lain.
Obatnya ialah 'ibadah yang ihsan dan
khusyu', sehingga kita betul-betul bisa merasa ridha menerima ketentuan
Allah terhadap diri kita masing-masing. 'Ibadah yang ihsan ini
berfungsi membersihkan pribadi ini dari sikap ananiah ini. 'Ibadah yang
ihsan telah diterangkan oleh RasuluLlah sebagai merasakan bahwa kita
melihat Allah dalam 'Ibadah itu, karena walaupun tak mungkin
melihat-Nya, tapi kita dapat merasakan, bahwa Allah senantiasa melihat
dan memperhatikan perangai kita. 'Ibadah yang ihsan ini akan
menumbuhkan rasa dekat dan mesra dengan Allah, sehingga menimbulkan
rasa cinta kepada-Nya.
Rasa cinta ini akan menumbuhkan percaya
diri yang sangat tinggi di dalam pribadi kita, sehingga rasa
ketidak-stabilan oleh karena ketidak-pastian tadi menjadi sirna sama
sekali, maka bersihlah diri dari sikap was-was atau ragu akan kasih
sayang Allah, sebagaimana difirmankan Allah di dalam al-Qur'an:
"Demi pribadi dan penyempurnaannya; yang berpotensi sesat dan bertaqwa. Sungguh menanglah mereka yang mensucikannya; Sungguh rugilah mereka yang mengotorinya." (Q.91 : 7-10)
Dengan demikian
ananiah atau jalan pintas untuk mengatasi rasa ketidak-pastian tadi
tidak akan tumbuh di dalam pribadi yang mau ber'ibadah ihsan dan
khusyu'. Berdasarkan ayat-ayat ini, jelaslah bagi mereka yang sadar,
bahwa pensucian pribadi melalui 'ibadah yang ihsan dan khusyu' bukanlah
sekadar kewajiban pribadi, tapi lebih merupakan suatu kebutuhan
muthlak, yang tak mungkin diabaikan.
3. Penyakit Takut dan Bimbang
Penyakit yang sering bercokol dalam hati manusia ialah
penyakit takut dan bimbang. Penyakit ini pun biasanya timbul akibat
rasa ketidak-pastian yang telah diterangkan di atas. Kedua penyakit ini
tumbuh akibat kurang yakinnya seseorang akan kemutlakan kekuasaan
Allah SWT. Kurang yakinnya seseorang akan kemutlakan Allah ini
menyebabkan ia kurang pasrah dalam mewakilkan nasibnya kepada Allah. Di
dalam bahasa al-Qur'an dikatakan orang ini tidak tawakkal.
Tawakkal
'ala Allah artinya mewakilkan nasib diri kepada Allah semata.
Kelemahan diri manusia akibat dari proses kejadiannya itu (lihat E.1.)
telah menyebabkan manusia senantiasa merasa tergantung kepada sesuatu
yang lain. Jika ia yakin akan kekuasaan mutlak Allah SWT, maka ia akan
puas dengan ketergantungannya kepada Allah saja. Jika ia kurang yakin
akan kemutlakan kekuasaan Allah SWT, maka kebimbangan segera timbul.
Kebimbangan ini kemudian akan berkembang menjadi rasa takut.
Rasa
takut itu biasanya timbul terhadap perkara yang akan datang yang belum
tentu akan terjadi. Misalkanlah perkirkiraan yang wajar menunjukkan
bahwa kemungkinan terjadinya perkara itu dan akan berakibat jelek
terhadap kita 50%. Biasanya dengan pengandaian yang dilebih-lebihkan
dibayangkan seolah-olah kemungkinannya jauh lebih besar dari 50%, maka
kita pun ketakutan.
Padahal, jika kita sadar, bahwa kita boleh
saja mengandaikan sebaliknya, yaitu lebih kecil dari 50% bukankah kita
tak perlu takut. Dalam keadaan tidak takut kita dapat mempersiapkan
diri dengan baik untuk mengatasi akibat yang akan mungkin terjadi itu.
Biasanya di bawah tekanan rasa takut orang sudah tidak dapat lagi
berpikir wajar, bahkan bagi setengah orang bisa menjadi panik dan
berhenti berpikir sama sekali.
Namun di atas semua itu, keyakinan
akan seluruh sifat-sifat (attribute) Allah yang mutlak pasti akan
menentukan dan memelihara kemantapan hati seseorang. Bukankah Allah SWT
telah mcnjamin, bahwa "tidak akan mengenai suatu kejadian akan kita,
kecuali jika memang telah ditetapkan Allah bagi kita." Dalam
firman-Nya:
"Katakanlah: 'Takkan ada apapun yang akan menimpa kami, kecuali yang telah ditetapkan Allah; Dialah Pelindung kami, maka hanya kepada-Nya-lah si Mu 'min mewakilkan urusan mereka' . " (Q. 9: 51).
Takut dan bimbang adalah gejala jiwa yang
kurang bertawhid. Dengan perkataan lain takut dan bimbang ialah
pertanda syirik. Dr. Muhammad Iqbal, pujangga Islam terkemuka dalam
abad ini telah menyatakan syirik setiap luapan takut dan bimbang dalam
salah satu sajaknya yang bcrjudul: "Laa Takhaf Wa Laa Tahzan".
- Laa Takhaf Wa Laa Tahzan
- Wahai kau yang dibelenggu rantai takut dan gelisah
- Pelajarilah mutu kata Nabawi: "Laa Tahzan"
- Jangan takut tak berketentuan
- Jika adalah padamu Tuhan Yang Maha Kuasa
- Lemparkanlah jauh-jauh segala takut dan bimbang
- Lemparkan cita untung dan rugi
- Kuatkan iman sekuat tenaga
- Dan kesankanlah berkali-kali dalam jiwamu: "La Khaufun 'Alaihim"
- Tiada resah dan gentar pada mereka bagi zaman 'kan datang
- Bila Musa pergi kepada Fir'aun
- Hatinya membaja oleh mutu kata:
- "Laa Takhaf, janganlah takut dan bimbang"
- Siapa yang telah mempunyai semangat al-Musthafa
- Melihat syirik dalam setiap denyut dan luapan takut bimbang.
Cara mengatasi rasa takut ialah dengan tawakkal 'ala Allah, artinya
mewakilkan perkara yang kita takuti itu kepada Allah SWT, maka Allah
akan memberikan pemecahan masalah tersebut. Di samping itu kita
mempersiapkan diri seperlunya untuk mengatasi kemungkinan akibat buruk
dari perkara tersebut bila terjadi.
Andai kata perkara itu
terjadi benar-benar, maka kita tidak akan terkejut lagi, sehingga dapat
lebih tenang mengatasinya. Betapapun jelek akibat terjadinya perkara
tersebut atas diri kita, maka dengan bertawakkal 'ala Allah itu kita
akan siap menerimanya sebagai kehendak Allah, Yang sedang menguji kita.
Maka jika kita berhasil keluar dari peristiwa itu biasanya kita akan
punya iman yang lebih menebal. Itulah yang dialami para nabi dan rasul
dalam meningkatkan iman dan tawhid mereka.
Nabi Musa AS,
umpamanya, telah mengalami segala macam ujian Allah yang berat-berat
demi meningkatkan iman dan tawhid beliau. Musa AS mematuhi segala yang
telah diperintahkan Allah kepadanya sepenuhnya. Kadang-kadang beliau
juga merasa bimbang dan ragu, dan perasaan ini dijelaskan beliau kepada
Allah, dan Allah memberikan bantuan seperlunya. Pada saat beliau,
karena mematuhi perintah Allah, membawa seluruh orang Yahudi pindah
keluar dari tanah Mesir, maka beliau dihadapkan dengan cabaran Allah
yang cukup berat.
Ketika rombongan yang besar itu sampai ke
pantai laut Merah kelihatan di belakang lasykar Fir'aun, yang siap akan
menghancurkan mereka, datang mengejar. Maka, Musa AS dihadapkan dengan
jalan buntu. Padahal beliau sampai ke situasi ini bukan karena
kehendak beliau sendiri; beliau sampai ke situasi ini hanya karena
mematuhi perintah Allah, maka ketika beliau mewakilkan perkara ini
kepada Allah, maka Allah SWT segera memberikan pemecahan masalahnya,
dan dengan demikian Musa menjadi lebih matang. Inilah yang digambarkan
oleh sajak berikut ini:
- Have you ever been to the Red Sea shore in your life,
- Where inspite of everything you can do,
- There is no way back, there is no way out,
- There is no other way but through.
- Jika diterjemahkan kira-kira:
- Pernahkah dalam hidup ini anda terbuntu di Laut Merah,
- Yang walau apapun anda boleh buat dan rancang,
- Namun anda tak mungkin mundur konon pula menyerah,
- Satu-satunya jalan hanyalah terus 'nyeberang.
Musa
AS tawakkal 'ala Allah atas perkara yang sedang dialaminya akibat
patuhnya beliau kepada perintah Allah, maka Allah SWT tak mungkin
mengecewakan hamba-Nya yang memenuhi seluruh kehendak-Nya.
"Wahai orang yang beriman, jika kamu menolong (melaksanakan semua perintah) Allah, maka Ia akan menolong kamu dan memantapkan langkah-langkahmu." (Q. 47:7)
Maka dengan kehendak Allah laut Mcrah
menyibakkan airnya dan memberikan rombongan Musa AS jalan untuk lewat
menyeberang. Sementara itu barisan lasykar Fir'aun dihadang oleh api
besar sampai rombongan Musa AS hampir selesai menyeberang. Sesudah api
besar itu reda, lasykar Fir'aun mengejar menyeberangi laut yang masih
terbuka itu sampai ke tengah, maka laut itu pun menelan mereka
seluruhnya. Inilah kekuatan pengaruh tawhid yang bagi seorang Rasul
seperti Musa AS telah berubah menjadi apa yang dinamakan mu'jizat.
Ummat
Muhammad SAW telah mendapat karunia khas berupa mu'jizat yang tidak
saja diajarkan oleh beliau, bahkan telah dipusakakan beliau kepada ummat
yang sangat dicintai beliau ini. Kehebatan sikap tawhid ini akan
selalu terbukti seandainya ummat ini bersedia menghargai dan
mengamalkannya. Sayang, kebanyakan ummat kita masih terlalu tebal
kemusyrikannya, sehingga terhadap ilah yang berupa rokok saja pun
kebanyakan ummat kita masih takluk tak berkutik, termasuk sebahagian
pemimpin dan ulamanya! AstaghfiruLlah . Ya Allah, ampuni dan tunjukilah
kami semuanya dalam mencapai ridha-Mu ...!!!
4. Penyakit Zhalim
Zhalim adalah lawan dari 'adil. Zhalim
artinya meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau melakukan
sesuatu yang tidak semestinya. Lawannya 'adil, yang artinya
meletakkan sesuatu pada tempatnya atau melakukan sesuatu yang
pantas. Jadi kalau seseorang membunuh ular karena ia akan
membela nasib seekor tikus yang akan diterkam dan dimakan ular
itu, maka tindakannya itu tidak bisa dikatakan 'adil, karena
sudah taqdir Allah SWT, bahwa tikus itu memang makanan ular.
Demikian pula sikap orang-orang
vegetarian yang tak mau makan daging, karena katanya manusia
tidak pantas berwatak kejam membunuh binatang yang akan
dimakannya. Dengan bersikap demikian mereka menganggap
kehidupan mereka penuh dengan kasih sayang sesama makhluk
Tuhan. Padahal Allah SWT telah berfirman, bahwa segala sesuatu
yang ada di muka bumi ini dan segala yang ada di langit
diciptakan Allah untuk melayani kebutuhan manusia.
"Dan Ia telah menyediakan bagi kamu segala sesuatu yang ada di langit dan apa yang di bumi seluruhnya dari pada-Nya, sesungguhnya dalam hal ini terdapat beberapa tanda bagi kaum yang mau berfikir." (Q. 45:13).
Dari ayat ini dan beberapa
ayat lain yang senada (lihat juga Q. 14:32-33; 16:12,14; 22:65;
31:20,29; dan sebagainya), maka membunuh binatang yang memang
diciptakan Allah untuk kepentingan kesejahteraan manusia
tidaklah termasuk zhalim atau kejam asalkan kita memenuhi
segala persyaratan yang berkenaan dengan itu seperti harus
dengan pisau yang tajam dan langsung memotong urat leher
tertentu agar darahnya segera tanpa tertahan keluar dengan
lancar, dan sebagainya.
Dari ulasan
ini dapatlah diketahui, bahwa kezhaliman bisa terjadi jika
seseorang melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajaran.
Sesuatu yang tidak wajar itu biasanya bertentangan dengan hukum
atau sunnah Allah SWT. Jadi zhalim dengan tegas berarti
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Allah SWT.
Bedanya dengan kufur hanyalah dalam i'tiqadnya.
Seorang kafir menolak sunnatuLlah dengan hati dan
perbuatannya, sedangkan seorang Muslim yang bertindak
berlawanan dengan sunnatuLlah dikatakan zhalim, walaupun ia
masih tetap seorang Muslim. Namun kebiasaan berperilaku zhalim
akan merusak mentalnya, karena dengan perilaku ini ia telah
merendahkan atau meremehkan sunnatuLlah yang pasti menimbulkan
akibat negatif bagi dirinya dan lingkungannya. Sikap meremehkan
sunnatuLlah ini termasuk atau mendekati sikap sombong yang
telah dibicarakan di atas. Pada akhirnya jika pen-zhalim tidak
segera taubat maka ia akan menjadi kufur juga akhirnya. Oleh
karena itu sikap zhalim dibenci oleh Allah.
Selain dari pada itu zhalim terhadap makhluk lain,
terutama terhadap manusia berarti merendahkan derajat manusia
yang dizhalimi. Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah
haram direndahkan. Bertindak zhalim sama dengan mendekatkan
diri dengan kekufuran, karena denqan tindakan itu pen-zhalim
telah menandingi hak Allah sebagai Satu-satunya Yang Berhak
bertindak menurut iradah-Nya tanpa perlu menenggang yang lain.
Tindakan menandingi hak Allah inilah yang berlawanan dengan
tawhid. Dengan perkataan lain, zhalim pada dasarnya akan
mendekatkan diri seseorang kepada syirik.
Bertindak zhalim terhadap makhluk selain manusia pun bisa
mendekatkan diri kepada kufur, karena telah melawan sunnah
Allah. Umpamanya, membunuh binatang yang tak akan dimakan, tapi
hanya sebagai permainan atau hobby. Juga, perbuatan-perbuatan
yang menimbulkan pencemaran pada lingkungan seperti menebang
kayu yang tak akan dimanfaatkan, atau dengan cara yang
berlebih-lebihan karena didorong oleh sifat thama' untuk
mendapatkan keuntungan yang berlebihan, sehingga menimbulkan
ketidak-seimbangan ecology. Perbuatan zhalim seperti ini sama
dengan "berlagak tuhan", yang boleh berkemauan seenaknya
sendiri tanpa menenggang kepentingan orang atau makhluk lain.
Hal ini jelas akhirnya akan termasuk syirik atau paling tidak
menjauhkan diri seseorang dari sikap tawhid yang istiqamah.
5. Penyakit Hasad atau Dengki
Hasad tumbuh di hati seseorang apabila
ia tidak senang kepada keberhasilan orang lain. Sikap ini
biasanya didahului oleh sikap yang menganggap diri paling hebat
dan paling berhak mendapatkan segala yang terbaik, sehingga
jika melihat ada orang lain yang kebetulan lebih beruntung,
maka ia merasa disaingi. Jadi pada dasarnya hasad ini juga
berasal dari sikap membesarkan (kibir) diri atau sombong.
Sikap tawhid pasti akan membuahkan hal yang
sebaliknya, karena dengan mentawhidkan Allah seseorang pasti
bisa merasakan, bahwa semua makhluk Allah sama kedudukan dan
haknya masing-masing di hadapan Allah SWT. Hanya Allah
sendiri yang pantas dianggap lebih dari semua yang ada. Adapun
manusia punya hak yang sama di sisi Allah. Jika ada manusia
yang lebih dimuliakan Allah dari yang lainnya, maka hanya Allah
sendiri yang berhak menentukan apa kriterianya, dan bagaimana
cara mengukurnya. Di dalam al-Qur'an dikatakan, bahwa kelebihan
seseorang manusia terhadap yang lain hanyalah ditentukan oleh
ketaqwaan manusia tersebut.
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling bertaqwa, sesungguhnya hanya Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Sadar." (Q. 49:13)
Namun taqwa
ini merupakan kwalitas hati, yang tidak mungkin diketahui oleh
manusia ukurannya. "Taqwa-meter" tak pernah dan tak mungkin
dibuat oleh manusia. Oleh karena itu hanya Allah SWT yang
mengetahui derajat ketaqwaan seseorang, dan hanya Allah yang
Maha Sadar (Khabiir = absolutely well informed) akan nilai
setiap orang, maka hanya Allah yang bisa menilai kelebihan
seseorang terhadap yang lain.
Memang dalam
pergaulan sesama manusia sering diperlukan suatu metoda
tertentu untuk menilai mutu seseorang misalnya setiap guru atau
dosen harus menilai murid atau mahasiswanya untuk mengetahui
apakah ia pantas dinaikkan atau diluluskan. Di dalam suatu
perusahaan, seorang manajer personalia harus mengadakan
penilaian (performance appraisal) terhadap bawahannya, namun
penilaian itu hanyalah bersifat lahiriah, yaitu yang dinilai
ialah hasil prestasi, sama sekali bukan nilai moral atau
motivasi bawahan tersebut.
Oleh karena itu
penilaian prestasi (performance appraisal) yang dilakukan oleh
seorang manager personalia yang Islami haruslah berdasarkan
persetujuan antara si penilai dan orang yang dinilai, dan kedua
orang ini haruslah menandatangani laporan hasil penilaian
tersebut. Aturan yang sudah biasa dilakukan di kalangan manajer
yang modern ini dibuat demi menghasilkan penilaian yang lebih
mendekati keobjektifan, namun semua pakar manajemen masih
mengakui, bahwa penilaian yang objektif seratus persen tidak
akan pernah dicapai manusia, jadi tepat sebagaimana difirmankan
Allah SWT:
"Katakanlah: 'Setiap kamu berkarya menurut bakat masing-masing, hanya Allah, Tuhanmu yang paling mengetahui siapa yang benar-benar mendapat petunjuk di jalan yang ditempuhnya'..." (Q.17:84)
Ayat ini tegas menyatakan,
bahwa selain Allah tidak ada yang mampu memberikan penilaian
yang betul-betul objektif. Oleh karena itu, sikap dengki yang
biasanya didahului oleh penilaian yang subjektif terhadap diri
orang lain pasti mendekatkan seseorang kepada syirik, karena
menilai secara subjektif itu pada hakikatnya sudah berarti
menandingi hak Allah SWT. Wallahu a'lam bishawab.
- Sumber:
- Kuliah Tauhid
- Ir. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim M.Sc.
- Diterbitkan oleh Pustaka-Perpustakaan Salman ITB
- Bandung, 1400H, 1980
- Cetakan 1, 1979, dan cetakan 2 1980
- (Muhammad 'Imaduddin 'AbdulRahim Ph.D., KULIAH TAWHID, Yayasan Pembina Sari Insan (YAASIN), Jakarta, 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar