SS-Hauptsturmführer Otto Skorzeny, sang penolong Mussolini dalam Operasi penyelamatan di Gran Sasso. Begitu berharganya manusia satu ini, sehingga ketika perang usai jasanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang dulu merupakan musuh beratnya!
Sebelum operasi dimulai, Skorzeny menggembleng timnya dengan sepenuh hati agar menjamin hasil yang diraih tidak mengecewakan. Disini dia sedang melapor kepada panglima Fallschirmjäger, Jenderal Kurt Student. Sebagian besar anggota operasi ini memang diambil dari Fallschirmjäger-nya Luftwaffe, sementara Skorzeny sendiri berasal dari SS!
Tipikal dari seragam Fallschirmjäger anggota tim Skorzeny yang ditugaskan dalam operasi di Gran Sasso. Setelah kesuksesan operasi ini, mesin propaganda Goebbels memutuskan untuk mengadakan rekonstruksi penyelamatan Mussolini, dan prajurit satu ini termasuk yang ikut di antaranya. Operasi militer di Gran Sasso juga menandai penggunaan untuk pertama kalinya senjata yang khusus dipersembahkan untuk Fallschirmjäger, Fallschirmjägergewehr-42 (FG-42), seperti yang disandang di punggung prajurit di atas
Benito Mussolini berfoto bersama para penolongnya. Di sebelah kirinya adalah Hauptmann Gerhard Langguth dan Major Otto-Harald Mors dari Fallschirmjäger. Wajah pelawak dengan helm para yang nongol di antara Mors dan Mussolini kemungkinan besar adalah ajudan dari Otto Skorzeny, SS-Obersturmführer Karl Radl. Lah, Skorzenynya mana? Katanya minta izin dulu sebentar buat buang hajat di hotel!
Otto Skorzeny bersama dengan Benito Mussolini dan para "hulubalang" sedang menuju ke pesawat Fieseler Fi 156 "Storch" yang akan membawa mereka terbang dari Gran Sasso. Di sebelah kanan dari Mussolini adalah Jenderal Ferdinando Soleti, pengikut setia Mussolini
Hauptmann Heinrich Gerlach, sang pilot jagoan yang menerbangkan Fieseler "Storch" walaupun kelebihan muatan, dengan Mussolini yang gendut dan Skorzeny yang raksasa di dalamnya! Wajarlah untuk menghargai pencapaian luar biasa yang telah dilakukannya, Wehrmacht menganugerahinya dengan Ritterkreuz
Kalau anak buahnya saja mendapat Ritterkreuz, apalagi gembongnya! Disini Otto Skorzeny berpose bersama pujaannya sang Führer Adolf Hitler dalam acara penganugerahan Ritterkreuz nomor 2153 di Rastenburg yang berlangsung pada tanggal 13 September 1943
Benito
Mussolini, Il Duce yang pernah menjadi diktator yang sangat ditakuti,
adalah laki-laki angkuh dan pemurung. Ketika berhasil menguasai Italia
dan beberapa negara jajahannya, namanya bergema di seluruh daratan Eropa
selama lebih dari satu dasawarsa. Dengan dukungan kaum Fasis yang
senantiasa mengenakan baju hitam, ia membawa Italia menuju kancah
peperangan dahsyat. Kekuasaannya mulai ambruk ketika Perang Dunia II
pecah dan Tripoli jatuh pada tahun 1943. Para jenderal Italia yang
menyadari bahwa perang telah berakhir, menuntut agar Il Duce segera
menciptakan perdamaian. Namun, terpengaruh oleh mimpi-mimpi dahsyat
sekutu setianya, Adolf Hitler – yang pernah berjanji akan mengembalikan
kejayaannya – Mussolini membiarkan perang terus berlanjut. Dalam suatu
sidang yang berlangsung sengit bulan Juli 1943, Majelis Tinggi Italia
memutuskan pemecatan dan penahanan Mussolini, berdasarkan pemungutan
suara 28 lawan 19. Count Galeazzo Ciano, menantu Mussolini yang juga
Menteri Luar Negeri, termasuk yang memberikan suara bagi penahanan sang
diktator! Namun ia harus membayar mahal dengan nyawanya, meskipun Edda,
putri Mussolini, berusaha mati-matian membelanya.
Diktator itu dihadapkan pada raja
Italia. Mussolini yakin dapat membujuk raja untuk membatalkan keputusan
Majelis Tinggi . Ia tahu bahwa Victor Emmanuel senantiasa ketakutan
menghadapinya. Namun situasi telah berubah. Dengan pucat raja menghardik
Mussolini sambil menggigit kuku-kukunya, “Engkau manusia paling bengis
di negeri ini!” Maka Mussolini diseret, dan dilarikan ke tempat
pengasingan yang dirahasiakan.
Selama beberapa minggu berikutnya,
ia digelandang dari satu penjara ke penjara lain, sampai akhirnya ia
mendapati dirinya di lantai atas bekas hotel mewah di Gran Sasso, di
daerah pegunungan Italia bagian tengah. Ia dijaga ketat oleh Resimen
Alpini, pasukan yang ketika bertugas di Afrika Utara tak henti-hentinya
bernyanyi “Bebaskan rakyat dari kekejaman Mussolini, yang telah membawa
Alpini ke ladang pembantaian”. Mereka diperintahkan untuk tak
segan-segan menembaknya seandainya tampak ada pihak luar yang berusaha
membebaskannya. Perintah semacam itu tentu saja sangat menyenangkan
mereka! Tetapi pertanyaannya : orang ‘gila’ mana yang akan mencoba
menyelamatkan Mussolini?
Ternyata lokasi penyekapan Mussolini
terpantau oleh intelijen Jerman. Mereka segera mengirimkan seorang
dokter tentara dengan dalih bangunan itu akan digunakan untuk rumah
sakit militer sementara. Ketika sang dokter baru sampai di kaki
pegunungan, sekelompok prajurit Alpini mencegat dan menyuruhnya kembali.
Tindakan inilah yang membuatnya yakin bahwa Mussolini memang disekap
disana. Dengan cepat ia menghubungi Berlin. Staff Jenderal Jerman
menghadapi dilema. Mereka menyampaikan kabar itu kepada Hitler dan
menambahkan bahwa operasi penyelamatan dalam bentuk apa pun mustahil
untuk dilakukan! Hitler naik pitam karena anak buahnya mengeluarkan
pendapat tanpa lebih dulu minta pertimbangannya. Pucat menahan marah,
Führer membentak, “Aku tak peduli. Mussolini temanku harus
diselamatkan!”
Dampratan Hitler membuat para jenderal membisu diam seribu
bahasa.
“Tetapi, Führerku...” ujar panglima
Wehrmacht Wilhelm Keitel. Ia seketika mengkerut melihat mata sang
pemimpin yang memelototinya itu.
“Bebaskan dia! Secepatnya!”
bentaknya lagi.
“Baik Führerku, tetapi bagaimana
caranya?”
“Panggil Skorzeny!”
Ketika Hitler meninggalkan ruangan,
para jenderal saling berpandangan. Skorzeny! Mengapa Führer memilih dia?
Bukankah anak muda itu belum tercatat bahkan sebagai anggota korps
perwira?
Skorzeny, lengkapnya
SS-Hauptsturmführer (Kapten SS) Otto Skorzeny, ternyata satu-satunya
prajurit yang tepat untuk melaksanakan misi teramat sulit itu. Seorang
prajurit ulet dan tegar hati, yang berulang kali membuktikan dirinya
sebagai “orang yang paling berbahaya di seluruh Wehrmacht”, dengan
keberhasilannya sebagai pemimpin pasukan gerak cepat. Orang berdarah
Austria ini semula adalah ahli teknik sipil. Begitu perang pecah, ia
menjadi tokoh legendaris sekaligus mendapatkan dirinya menjadi anak
kesayangan sang Führer. Dengan enggan Keitel berpaling kepada ajudannya,
“Katakan kepada Hauptmann Skorzeny agar ia datang melapor segera.”
Dua puluh empat jam kemudian, Otto
Skorzeny (yang hampir dua meter tingginya!) turun merunduk-runduk dari
pesawat Junkers Ju 52 Luftwaffe. Ia bertanya-tanya kepada dirinya hal
apakah yang membuat Marsekal Keitel memanggilnya. Perintah yang ia
terima singkat dan jelas saja, tak mungkin lagi mengajukan pertanyaan
atau membantah. “Lapor ke Berchtesgaden segera. Diulang, segera. Atas
perintah Führer!” Siapa yang akan berani membiarkan sang Führer
menunggu? Tentara bayaran yang independen semacam dia pun tidak. Dalam
sekejap ia akan bertatap muka dengan Hitler. sekedar membayangkannya pun
hatinya gentar. Adakah seseorang yang ingin bertemu dengan Adolf
Hitler? Perangainya sangat cepat berubah. Suatu kali ia berbicara penuh
humor, tetapi detik berikutnya ia seperti orang sakit ingatan, tak bisa
lagi mengendalikan emosinya! Lagipula, Skorzeny membenci kue berlapis
gula yang lengket, yang agaknya merupakan satu-satunya cemilan kesukaan
Hitler. Sekalipun ia muda, sehat, dan tak pernah gugup, namun masih saja
merasa ngeri melihat sang Führer menelan pil dan obat penenang selama
mereka berbicara!
“Heil Hitler!” tegap Skorzeny
menghentakkan tumit sepatunya dan mengangkat tangannya sebagai tanda
hormat Nazi. Dengan malas lelaki berwajah letih dan berpunggung bungkuk
itu membalas penghormatan Skorzeny. Kilatan matanya membuat orang
bagaikan tersihir.
“Aku ingin Mussolini dibebaskan,”
ujarnya, “Karena pembebasannya akan mempengaruhi keberhasilan tujuan
kita. Kita membutuhkan dia untuk mengerahkan orang-orang Italia yang
masih setia kepada tujuan fasis. Bebaskan dia. Bebaskan dia secepatnya!”
Hitler kemudian membalikkan punggung dan menatap tajam ke jendela kaca.
Itu sebagai pertanda bahwa audiensi telah selesai.
Skorzeny segera meninggalkan ruangan
dengan diikuti oleh Kolonel dari bagian intelijen yang tampak memendam
kekhawatiran. Perwira itu kemudian menjelaskan rencana penyelamatan yang
telah disusun dengan para jenderal Wehrmacht. Meskipun diam-diam merasa
yakin bahwa rencana tersebut akan berujung pada kegagalan, mereka
memberanikan diri mengharapkan sebersit cahaya keberhasilan.
Ketika Skorzeny bertanya apakah
tugas yang dilimpahkan ke bahunya hanya memiliki peluang kecil saja, ia
menyadari bahwa lawan bicaranya tidak mengatakan yang sebenarnya, meski
jawaban yang diberikan cukup tegas, “Ya!” Ada tebing curam di dekat
lembah? “Ya!” Ada landasan untuk mendaratkan pesawat terbang layang di
lapangan rumput di belakang hotel? “Ya!” Apakah diperlukan seorang pilot
Jerman paling cakap dalam menerbangkan pesawat layang? “Ya!” Adakah
ruang cukup untuk tinggal landas? “Tidak!” Apakah pesawat akan hancur
berkeping-keping bila tergelincir ke tebing? “Ya!”
Skorzeny mewajibkan dirinya sendiri
untuk mengeluarkan seluruh kepandaiannya bertutur kata di depan anak
buahnya dengan mengatakan bahwa misi mereka tetaplah mempunyai peluang
untuk berhasil. Diam-diam mereka pun mulai bersiap-siap. Pagi hari
tanggal 12 September 1943, sejumlah pesawat terbang layang ditarik ke
angkasa biru yang berhias mega-mega putih.
“Itu dia!” Pilot harus berteriak
agar suaranya mengimbangi deru mesin. Skorzeny, dengan mengikuti
tudingan telunjuk pilot, melihat sasaran operasi – sebuah hotel mewah di
ketinggian dua ribu meter, di lereng gunung. Hotel yang berdiri di
lembah pegunungan itu seakan hanya ada dalam dongengan. Kereta gantung
merupakan satu-satunya sarana yang menghubungkannya ke dunia luar. Di
sekelilingnya Skorzeny melihat puncak-puncak bukit bersalju pegunungan
Gran Sasso. Kengerian membayang di matanya.
“Benar-benar benteng yang kuat,”
teriaknya. Pilot mengangguk. Ia tahu bahwa ia adalah salah satu pilot
pesawat layang terbaik di Jerman. Sebelum pecah perang ia sering
menerbangkan pesawat layangnya di pegunungan Harz, dan dengan gerakan
spiral menuju ke daerah arus panas. Ia pernah menyabet rekor terbaik
dalam ketahanan menerbangkan pesawat layang, dan menerima trofi langsung
dari tangan sang Führer. Kata-kata Hitler terngiang kembali di
telinganya : “Tak lama lagi kami akan membutuhkan orang seperti kamu.”
Kalau saja ia dapat melihat ke masa depan, bahwa kubu Rusia pun merasa
iri karena tidak memiliki orang sebaik dirinya!
Ia menatap ke bawah dan mulutnya
mulai mengatup. Butir-butir keringat bergulir pelan lewat ujung
hidungnya, meski hawa dingin di kokpit menusuk tulang. Ia memperkuat
cengkeramannya pada tangkai pengendali pesawat, karena ia yakin sekejap
lagi perutnya akan terasa mual. Ia juga mendengar kata-kata Skorzeny,
“Gila! Benar-benar tak bisa dipercaya!”
“Saya kira intelijen tahu apa yang
mereka lakukan,” teriaknya. Pilot tak menjawab. Ia yakin Skorzeny pasti
bersyaraf baja. Tak seorang pun berpikir akan mendaratkan pesawat layang
di jalur rumput yang begitu sempit. Sementara itu perhatiannya tertuju
pada kilatan cahaya yang diberikan oleh pesawat Junkers Ju 52 di depan.
“Siap untuk melepaskan tali, komandan!” teriak pilot.
Sesaat kemudian tali menegang ketika
Junkers membelok, mendekati hotel. Pesawat layang mengikutinya. Sekali
lagi Junkers kembali terbang stabil, lalu memperlambat kecepatan dan
tali penariknya pun merenggang. “Yak, lepaskan!” teriak pilot. Ia mulai
kehilangan kecepatan. Angin menderu sebentar, kemudian sepi. Pesawat
penarik itu membelok tajam kembali ke pangkalan induk. Terlihat nyala
lampu sinyal.
“Mereka mengucapkan semoga berhasil,
komandan!”
Pilot mulai bersiap mendaratkan
pesawat lurus ke depan. “Pesawat mendarat dua menit lagi!”
Skorzeny berpaling dan berteriak,
“Periksa persenjataan.” Di belakangnya, pasukan penyergap gerak cepat
memeriksa mekanisme tembakan Schmeitzer mereka, menyiapkan pisau komando
dan meyakinkan diri apakah granat mereka telah siap untuk digunakan.
Tak seorang pun berbicara. Suasana tegang. Lampu merah kembali menyala.
Satu menit lagi mendarat. Wajah-wajah suram itu tampak memburat oleh
cahaya merah, sementara jari-jemari erat menggenggam tali. Beberapa
detik sebelum terdengar decit-decit suara roda pesawat (yang berarti
mereka telah mendarat dengan selamat), selalu menimbulkan suasana
mencekam. Dan saat-saat seperti itu membuat mereka berpikir tentang
berbagai kemungkinan mengerikan. Bagaimana kalau pesawat terbalik,
hidungnya menukik? Bagaimana kalau bagian belakangnya hancur dan seluruh
muatannya terkocok dan remuk? Biasanya para “perencana” militer akan
cermat memilih medan pendaratan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
bahaya saat pesawat mendarat. Namun ketika itu tak ada pilihan lain.
Belum lagi kemungkinan pesawat menabrak lereng gunung, menyimpang
bermeter-meter ke kanan atau meluncur keluar dataran berumput, dan dalam
keadaan tak terkendali terperosok ke jurang sedalam dua ribu meter!
Pilot dengan terampil mengarahkan
pesawatnya mendekati landasan, bagaikan burung besar tanpa bersuara
hinggap di hotel. Perlahan-lahan ia mengendorkan tangkai kendali ketika
hamparan menghijau tampak semakin dekat.
Sekarang! Ia menyentakkan tangkai
kendali kembali dan hidung pesawat pun mendongak. Pesawat mendaratkan
perutnya dengan suara berdentam, lalu meluncur seperti kepiting
melintasi rumput. Hanya beberapa meter dari hotel!
“Keluar! Keluar!” Teriak Skorzeny di
dekat pintu sementara pesawat masih meluncur. Ia segera berlari menuju
sekelompok tentara Italia yang terperangah. Mau tahu apa yang sedang
dilakukan para odong-odong ini? Bermalas-malasan mandi matahari!
Bingung, mereka hanya sempat membelalakkan mata ketika seorang jenderal
Italia, didampingi seorang serdadu Jerman, menghampiri mereka sambil
berteriak, “Jangan tembak! Keadaan aman, jangan tembak.”
Panik, para penjaga menurunkan
senapan lalu melarikan diri. Skorzeny, bersama tiga orang pasukan gerak
cepat, berlari naik tangga menuju lantai pertama tempat Mussolini
disekap. Karena terkejut para serdadu Alpini menurunkan senjata dan
mengangkat tangan di atas kepala.
Mussolini maju, menyalami para
penyelamatnya dengan tangan gemetar. Sekalipun wajahnya pucat, ia tak
dapat menyembunyikan kegembiraan. “Aku yakin kawanku Adolf Hitler tak
meninggalkan diriku,” katanya. Tak sabar, Skorzeny menariknya menuruni
tangga, dan berlari ke lapangan rumput. Ia terkejut melihat pesawat
ringan yang menurut rencana akan mereka gunakan ternyata rusak ketika
melakukan pendaratan! Syukurlah pesawat cadangan, sebuah Fieseler Storch
yang dikemudikan oleh Hauptmann Heinrich Gerlach, mendarat dengan
mulus. Skorzeny mendorong Mussolini yang mencoba memprotesnya, merunduk
masuk ke dalam pesawat. Ia pun ikut melompat ke dalamnya. Seketika
pesawat penuh sesak. Kepala sang “raksasa” SS membentur atap kabin
pesawat. Sekilas ia menatap Mussolini. Il Duce duduk dengan pucat ketika
menyadari bahwa pesawat yang ditumpanginya akan lepas landas di
lapangan rumput bertabur batu, dan berbatasan dengan lembah terjal!
Gerlach terkejut ketika melihat
Skorzeny juga bersama mereka. “Anda juga disini? Tetapi...”
“Jika Mussolini terbunuh, tak ada
yang dapat kulakukan selain meledakkan tubuhku sendiri dengan granat.
Lebih baik aku mati bersamanya.”
Jawaban Skorzeny membuat Gerlach
kurang senang dan mencoba mendebat. Namun Skorzeny menukas, “Cukup, ini
perintah Führer.”
Gerlach menghidupkan mesin hingga
mencapai kekuatan penuh. Fieseler Storch menerjang ke depan, menuju
bibir jurang. Karena menabrak sebuah batu, pesawat melambat sesaat.
Pesawat itu nyaris tak dapat mengudara meski akhirnya kecepatannya
kembali menaik dan ia pun meluncur menjauhi tepi
jurang, dan terbang oleng. Untunglah perlahan-lahan Gerlach mampu
menguasai pesawatnya kembali. Setelah ia menarik nafas lega, pesawat
melesat menuju lapangan terbang Jerman di Aquila. Selama beberapa saat
ketiga orang itu diam, tak bersuara. Mereka sadar, jiwa mereka nyaris
melayang. Dari Aquila mereka terbang ke Wina, lalu menuju Berlin.
Mussolini tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Keangkuhannya
kembali muncul ketika kemudian ia berjalan untuk menjabat tangan Adolf
Hitler. Acungan dua jempol sepantasnya diberikan kepada Otto Skorzeny,
sang pahlawan nomor satu Jerman, yang telah berhasil membuktikan
kemampuannya melaksanakan misi yang nyaris mustahil itu!
Dalam operasi
di Gran Sasso sendiri, hampir seluruh anggota tim Skorzeny berasal
dari,Fallschirmjäger (70 orang) kecuali 18 orang yang berasal dari SS:
1.
SS-Hauptsturmführer Otto Skorzeny
2. SS-Obersturmführer Ulrich Menzel
3. SS- Obersturmführer Karl Radl
4. SS-Untersturmführer Otto Schwerdt
5. SS-Untersturmführer Robert Warger
6. SS-Untersturmführer Andreas Friedrich
7. SS-Hauptscharführer Manns
8. SS-Oberscharführer Walther Gläsner
9. SS-Oberscharführer Paul Spitt*
10. SS Unterscharführer Hans Holzer
11. SS-Unterscharführer Bernhard Cieslewitz
12. SS Unterscharführer Robert Neitzel
13. SS-Rottenführer Herbert (?) Himmel
14. SS-Rottenführer Albert (?) Benz
15. Sfaeller or Gföller
16. Max Pföller
2. SS-Obersturmführer Ulrich Menzel
3. SS- Obersturmführer Karl Radl
4. SS-Untersturmführer Otto Schwerdt
5. SS-Untersturmführer Robert Warger
6. SS-Untersturmführer Andreas Friedrich
7. SS-Hauptscharführer Manns
8. SS-Oberscharführer Walther Gläsner
9. SS-Oberscharführer Paul Spitt*
10. SS Unterscharführer Hans Holzer
11. SS-Unterscharführer Bernhard Cieslewitz
12. SS Unterscharführer Robert Neitzel
13. SS-Rottenführer Herbert (?) Himmel
14. SS-Rottenführer Albert (?) Benz
15. Sfaeller or Gföller
16. Max Pföller
Penghargaan-penghargaan
"kelas berat" yang diberikan pada anggota tim Skorzeny :
Ritterkreuz
(4 orang)
1. Kurt Student 27.09.1943 (Eichenlaub no.305) sebagai General der Fallschirmtruppe dan komandan K.G. XI. Flieger-Korps (LL-Korps)
2. Otto Skorzeny 13.09.1943 sebagai SS-Hauptsturmführer der Reserve dan komandan SS-Sonderverband z.b.V. Friedenthal
3. Heinrich Gerlach 19.09.1943 sebagai Hauptmann dan Flugzeugführer dari K.G. XI. Flieger-Korps (pilot Fieseler Fi 156 "Storch")
4. Elimar Meyer 17.09.1943 sebagai Leutnant (Kr.O.) sebagai pilot glider dari i. d. III./LL-Geschwader 1
Deutsches Kreuz in Gold (7 orang)
1. Georg Freiherr von Berlepsch 01.11.1943 sebagai Oberleutnant dan Chef 1./Fsch.Jäg.Rgt 7 (1./Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
2. Otto-Harald Mors 01.11.1943 sebagai Major i.G. dan komandan I./Fsch.Jäg.Rgt 7 (Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
3. Gerhard Langguth 01.11.1943 sebagai Hauptmann dan Ic XI. Flieger-Korps (Verbandsführer)
4. Johannes Heidenreich 26.09.1943 sebagai Oberleutnant dan Staffelkapitän dari 12.(III.)/LL-Geschwader 1
5. Hans Neelmeyer 26.09.1943 sebagai Oberfeldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
6. Heiner Lohrmann 26.09.1943 sebagai Feldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
7. Gustav Thielmann 26.09.1943 sebagai Unteroffizier dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
1. Kurt Student 27.09.1943 (Eichenlaub no.305) sebagai General der Fallschirmtruppe dan komandan K.G. XI. Flieger-Korps (LL-Korps)
2. Otto Skorzeny 13.09.1943 sebagai SS-Hauptsturmführer der Reserve dan komandan SS-Sonderverband z.b.V. Friedenthal
3. Heinrich Gerlach 19.09.1943 sebagai Hauptmann dan Flugzeugführer dari K.G. XI. Flieger-Korps (pilot Fieseler Fi 156 "Storch")
4. Elimar Meyer 17.09.1943 sebagai Leutnant (Kr.O.) sebagai pilot glider dari i. d. III./LL-Geschwader 1
Deutsches Kreuz in Gold (7 orang)
1. Georg Freiherr von Berlepsch 01.11.1943 sebagai Oberleutnant dan Chef 1./Fsch.Jäg.Rgt 7 (1./Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
2. Otto-Harald Mors 01.11.1943 sebagai Major i.G. dan komandan I./Fsch.Jäg.Rgt 7 (Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
3. Gerhard Langguth 01.11.1943 sebagai Hauptmann dan Ic XI. Flieger-Korps (Verbandsführer)
4. Johannes Heidenreich 26.09.1943 sebagai Oberleutnant dan Staffelkapitän dari 12.(III.)/LL-Geschwader 1
5. Hans Neelmeyer 26.09.1943 sebagai Oberfeldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
6. Heiner Lohrmann 26.09.1943 sebagai Feldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
7. Gustav Thielmann 26.09.1943 sebagai Unteroffizier dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
Sumber :
Buku “True Adventures” oleh Bernard
Brett