Sosok wanita shalihah dan istri setia
melekat pada Ummu Asmaa. Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun ia setia
menunggui suaminya yang koma. Dokter memvonis suaminya tak mungkin
sembuh, bahkan ada syaikh merekomendasikan agar Ummu Asmaa bercerai dan
menikah lagi. Tapi ia mengabaikan itu semua. Ia memilih setia. Apa yang
akhirnya ia dapat? Ini kisahnya yang mengharukan…
Suamiku adalah pria yang shalih dan
berakhlak mulia. Ia juga sangat berbakti pada kedua orangtuanya. Sejak
menikah dengannya pada tahun 1390 Hijriyah, kami tinggal bersama orang
tuanya di Riyadh. Kebahagiaanku semakin bertambah, saat Allah
mengkaruniakan seorang putri kepada kami setahun kemudian. Kami
memberinya nama Asmaa.
Ketika putri kami berusia satu tahun,
suami pindah kerja di daerah Timur Arab Saudi. Ia bekerja di sana selama
sepekan dan pulang ke rumah selama sepekan. Begitu seterusnya hingga
tiga tahun lamanya.
Suatu hari, tepatnya pada 9 Ramadhan
tahun 1395 H, sebuah berita mengejutkan datang kepada kami. Bak petir di
siang hari membelah langit yang cerah. Mobil suamiku terbalik saat
pulang menuju Riyadh. Kecelakaan itu begitu hebat hingga membuatnya
langsung koma. Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Tim dokter spesialis
yang menanganinya mengatakan, suamiku mengalami kelumpuhan otak. 95
persen otaknya telah mati.
Hari-hari itu membuatku sangat sedih.
Suami tercinta yang selama ini menjadi tumpuan hidup kami kini terbaring
koma. Satu hari.. dua hari.. satu pekan.. dua pekan.. waktu terasa
sangat lambat, dan kondisi suamiku tak mengalami perubahan apapun.
Orangtuanya yang sudah lanjut usia tak kalah sedih. Namun yang membuatku
paling sedih, ketika Asmaa menanyakan di mana ayahnya. Mengapa ia tak
kunjung pulang. Kami memang menyembunyikan kabar sebenarnya dari Asmaa.
“Umi, abi kok tidak pulang-pulang ya, katanya mau membelikan mainan?”
tanya Asmaa dengan polosnya. Sambil berusaha menahan air mata, aku hanya
bisa menjawab, “Sabar ya sayang… insya Allah nanti abi akan kembali.”
Bulan demi bulan berlalu. Tahun berganti tahun. Tak ada perubahan pada suamiku. Aku dan mertua bergantian menjenguknya.
Lima tahun sudah suamiku koma. Sebagian
orang menyarankan agar aku mengajukan cerai ke pengadilan karena menurut
dokter tak ada harapan sembuh untuk suamiku. Bahkan, seorang syaikh pun
merekomendasikan hal itu setelah mengetahui bahwa otak suamiku lumpuh
untuk selamanya.
“Tidak,” jawabku tegas setiap kali ada saran untuk bercerai. “Selama suamiku belum dikubur, aku akan tetap menjadi istrinya.”
Aku pun memfokuskan konsentrasiku untuk
mentarbiyah Asmaa. Aku mengajarinya, aku juga memasukkannya ke sekolah
tahfidz. Ia mulai terbiasa shalat malam pada usia 7 tahun. Dan
alhamdulillah, ia bisa hafal Qur’an sebelum menginjak usia 10 tahun.
Seiring bertambahnya hafalan dan kedekatannya dengan Al Qur’an,
kedewasaannya pun meningkat melampaui usianya. Aku pikir inilah waktu
yang tepat untuk menyampaikan hal sebenarnya tentang ayahnya. Asmaa
menangis. Ia sangat sedih mendengar kabar ayahnya. Terkadang, ia juga
terlihat diam menyendiri.
Sejak tahu ayahnya koma di rumah sakit,
Asmaa selalu membersamaiku ke sana. Ia mendoakan dan meruqyah ayahnya,
ia juga bersedekah untuk ayahnya.
Hingga suatu hari pada tahun 1410, Asmaa
meminta ijin menginap di rumah sakit. “Aku ingin menunggui ayah malam
ini” pintanya dengan nada mengiba. Aku tak bisa mencegah.
Malam itu, Asmaa duduk di samping
ayahnya. Ia membaca surat Al Baqarah di sana. Dan begitu selesai ayat
terakhirnya, rasa kantuk menyergapnya. Ia tertidur di dekat ayahnya yang
masih koma. Tak berapa lama kemudian, Asmaa terbangun. Ada ketenangan
dalam tidur singkatnya itu. lalu, ia pun berwudhu dan menunaikan shalat
malam.
Selesai shalat beberapa raka’at, rasa
kantuk kembali menyergap Asmaa. Tetapi, kantuk itu segera hilang ketika
Asmaa merasa ada suara yang memanggilnya, antara tidur dan terjaga.
“Bangunlah… bagaimana mungkin engkau tidur sementara waktu ini adalah
waktu mustajab untuk berdoa? Allah tidak akan menolak doa hamba di waktu
ini”
Asmaa pun kemudian mengangkat tangannya
dan berdoa. “Yaa Rabbi, Yaa Hayyu…Yaa ‘Adziim… Yaa Jabbaar… Yaa Kabiir…
Yaa Mut’aal… Yaa Rahmaan… Yaa Rahiim… ini adalah ayahku, seorang hamba
dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah
bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan
ketetapanMu baginya…
Ya Allah…, sesungguhnya ia berada di
bawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah
menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan
nabi Musa kepada ibunya… Yang telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut
ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan
keselamatan bagi Nabi Ibrahim… sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…
Ya Allah… sesungguhnya mereka telah
menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh… Ya Allah milikMu-lah
kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…”
Sebelum Subuh, rasa kantuk datang lagi. Dan Asmaa pun tertidur.
“Siapa engkau, mengapa kau ada di sini?”
suara itu membangunkan Asmaa. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari
sumber suara. Tak ada orang. Betapa bahagia dirinya, ternyata suara itu
adalah suara ayahnya. Ia sadar dari koma panjangnya. Begitu bahagianya
Asmaa, ia pun memeluk ayahnya yang masih terbaring. Sang ayah kaget.
“Takutlah kepada Allah. Engkau tidak halal bagiku” kata sang ayah.
“Aku ini putrimu ayah. Aku Asmaa” tak menghiraukan keheranan sang ayah, Asmaa segera menghubungi dokter dan mengatakan apa yang terjadi.
Para dokter yang piket pada pagi itu
hanya bisa mengucapkan “masya Allah”. Mereka hampir tak percaya dengan
peristiwa menakjubkan ini. Bagaimana mungkin otak yang telah mati kini
kembali? Ini benar-benar kekuasaan Allah.
Sementara Abu Asmaa, ia juga heran
mengapa dirinya berada di situ. Ketika Asmaa dan ibunya menceritakan
bahwa ia telah koma selama tujuh tahun, ia hanya bertasbih dan memuji
Allah. “Sungguh Allah Maha Baik. Dialah yang menjaga hamba-hambaNya”
simpulnya.
Demikianlah, aku sangat berbahagia
dengan keajaiban dari Allah ini. Aku hanya bisa bersykur kepada Allah
yang telah mengokohkan kesetiaanku dan membimbingku untuk mentarbiyah
putriku.
sumber : http://kisahikmah.com/kisah-istri-shalihah-setia-menunggu-suami-6-tahun-koma/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar