Nabi Syu’aib ‘alaihissalam tinggal di kota Madyan
yang letaknya di Yordania sekarang. Ketika itu, masyarakatnya kafir
kepada Allah dan melakukan berbagai kemaksiatan, seperti membajak dan
merampas harta manusia yang melintasi mereka. Mereka juga menyembah
pohon lebat yang disebut Aikah.
Mereka bermuamalah buruk dengan manusia, menipu dalam melakukan jual beli dan mengurangi takaran dan timbangan. Maka Allah mengutus kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka bernama Nabi Syu’aib ‘alaihissalam. Beliau mengajak mereka beribadah kepada Allah dan tidak berbuat syirik, melarang mereka mengurangi takaran dan timbangan serta melarang melakukan pembajakan, dan melarang berbuat buruk lainnya.
Mereka bermuamalah buruk dengan manusia, menipu dalam melakukan jual beli dan mengurangi takaran dan timbangan. Maka Allah mengutus kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka bernama Nabi Syu’aib ‘alaihissalam. Beliau mengajak mereka beribadah kepada Allah dan tidak berbuat syirik, melarang mereka mengurangi takaran dan timbangan serta melarang melakukan pembajakan, dan melarang berbuat buruk lainnya.
Nabi Syu’ab ‘alaihissalam berkata kepada mereka, “Wahai
kaumku! Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak
disembah bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti
yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah
Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
betul-betul orang-orang yang beriman.— Dan janganlah kamu duduk
di setiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang
beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi
bengkok…dst.” (QS. Al A’raaf: 85)
Demikianlah, Nabi Syu’aib ‘alaihissalam terus berdakwah
kepada kaumnya dan menerangkan kebenaran kepada mereka, tetapi yang
beriman hanya sedikit saja, sedangkan sebagian besar mereka kafir.
Meskipun begitu, beliau tidak berputus asa terhadap penolakan mereka,
bahkan tetap sabar mendakwahi mereka dan mengingatkan mereka
nikmat-nikmat Allah yang tidak terhingga. Akan tetapi kaumnya tetap
tidak menerima nasihat dan dakwahnya, bahkan mereka berkata kepada Nabi
Syu’ab sambil mengolok-olok, “Wahai Syu’aib! Apakah shalatmu
menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak
kami atau melarang kami berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta
kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi
berakal.” (QS. Huud: 87)
Kemudian Nabi Syu’aib membantah mereka dengan kalimat yang halus sambil mengajak mereka kepada yang haq, “Wahai
kaumku! Bagaimana pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari
Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku
menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu
(dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali
(mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan tidak ada taufik
bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)
Seperti itulah Nabi Syu’aib ‘alaihissalam, Beliau berdakwah dengan argumentasi yang kuat, sehingga Beliau disebut Khathibul Anbiya’ (Ahli Pidato dari kalangan para nabi).
Selanjutnya, Beliau berkata kepada mereka menakut-nakuti mereka dengan adzab Allah dan mengajak mereka kembali kepada Allah, “Wahai
kaumku, janganlah pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan
kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa adzab seperti yang menimpa kaum
Nuh atau kaum Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh
(zaman dan tempatnya) dari kamu.—Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (QS. Huud: 89-90)
Maka mereka mengancam akan menghukum Beliau, mereka berkata, “Wahai
Syu’aib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu
dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di
antara kami; kalau tidak karena keluargamu tentulah kami telah merajam
kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang kuat di sisi kami.” (QS. Huud: 91)
Syu’aib menjawab, “Wahai kaumku, apakah keluargaku lebih
terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang Allah kamu jadikan
di belakang (tidak dipedulikan)? Sesungguhnya (pengetahuan) Tuhanku
meliputi apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud: 91)
Selanjutnya, Nabi Syu’aib menakut-nakuti mereka dengan adzab Allah
jika mereka tetap di atas kesesatan dan kemaksiatan mereka, tetapi
kaumnya malah menjawab ancaman itu dengan mengancam Beliau dan
memberikan pilihan, “Mengikuti agama mereka atau pergi meninggalkan kota mereka bersama orang-orang yang beriman yang mengikutinya.”
Namun Nabi Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamanya tetap teguh
di atas keimanan mereka dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah. Maka
kaumnya menuduh Beliau sebagai pesihir dan pendusta (QS. Asy Syu’araa:
185-186) dan mengolok-olok adzab yang beliau ancamkan, bahkan meminta
disegerakan adzab. Para pemuka mereka juga berkata kepada yang lain, “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raaf: 90)
Hingga akhirnya Nabi Syu’aib ‘alaihissalam berdoa kepada Tuhannya, “Ya
Tuhan Kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan haq
(adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (QS. Al A’raaf: 89)
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh Nabi syu’aib ‘alaihissalam
agar keluar dari kota itu bersama orang-orang yang beriman karena adzab
akan turun menimpa kaumnya, selanjutnya Allah mengirimkan kepada mereka
cuaca yang begitu panas yang membuat tanaman kering, sumur kering, dan
susu hewan habis, maka orang-orang pun keluar mencari kesejukan, lalu
mereka menemukan awan hitam yang sebelumnya mereka kira sebagai hujan
dan rahmat, sehingga mereka berkumpul di bawahnya, kemudian ditimpakan
kepada mereka bunga api yang membakar dan api yang bergejolak sehingga
membakar mereka semua, bumi pun berguncang dan mereka ditimpa suara yang
mengguntur yang mencabut nyawa mereka sehingga mereka menjadi
jasad-jasad yang mati bergelimpangan. Setelah kejadian itu, Nabi Syu’aib meninggalkan mereka sambil berkata,
“Wahai kaumku! Sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu
amanat-amanat Tuhanku dan aku telah memberi nasihat kepadamu. Maka
bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?”
Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan kepada
mereka berbagai bentuk adzab dan musibah karena sifat dan perbuatan
mereka yang buruk. Allah timpakan kepada mereka gempa bumi sebagai
balasan karena mereka mengancam akan mengusir Nabi Syu’aib dan para
pengikutnya (QS. Al A’raaf: 91). Dia juga menimpakan suara yang
mengguntur sebagai balasan atas olok-olokkan mereka kepada Nabi mereka
(QS. Huud: 87). Dan Dia juga menimpakan kepada mereka naungan awan yang
daripadanya keluar bunga api sebagai jawaban atas permintaan mereka
untuk ditimpakan adzab berupa gumpalan dari langit (QS. Asy Syu’aaraa':
187-188).
Allah menyelamatkan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam dan orang-orang yang beriman bersamanya, Dia berfirman, “Dan
ketika datang adzab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang
beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim
dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati
bergelimpangan di rumahnya.–Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di
tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Mad-yan sebagaimana
kaum Tsamud telah binasa.” (QS. Huud: 94-95).
Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
sumber : http://kisahmuslim.com/kisah-nabi-syuaib-alaihissalam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar