214.
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan
(dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang
yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al Baqarah
214)
Ramadhan mulai menunjukan sayap sayap anggunnya. Tak ragu lagi fajar
fajar penuh keberkahan itu telah menyingsing di kota Riyadh, masha
Allah… ahlan ya Ramadhann.. pohon kurmapun seperti bahagia… mereka
berbuah lagi, sebentar lagi ranum menyambut Ramadhan di kota ini.
Alhamdulillah… Kota ini adalah lautan inspirasi bagiku.
Dimana atas izin ALLAH pena ini mulai kugoreskan diawal 2010 lalu. Begitu banyak inspirasi yang melintasi kota dihatiku,..
Sebenarnya, tulisan saya ini adalah ungkapan terimakasih saja…
Ungkapan bahagia atas kemerduan hidayah Nya, saat inspirasi demi
inspirasi itu datang bertaburan menyentuh dan menggetarkan dinding hati
yang berdebu ini. Hingga terlintas rasa ingin untuk mencatatnya, sekedar
pelepas dahaga jiwa sesiapa saja yang dikehendaki Nya..
Selebihnya saya hanya hamba ALLAH biasa saja, cendrung lemah dan berubah-ubah. Semoga kebahagiaan yang kulukiskan dari sudut sudut di kota ini
terpancar hingga ke seluruh kota di hatimu.. Menggetarkannya,
melembutkan dan mengingatkanmu tentang kerinduan kepada sebuah tempat,
sebuah kota yang pasti akan kita temui. Kota Akhirat yang Abadi!!!
Kulantunkan segala Puji bagi ALLAH yang memiliki ribuan – atau
jutaan, hingga angka angka tak terbatas – cerita dalam kenaggunan
lukisan Hidayah NYA yang tersirat di Alam semesta ini.
Ditengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan banyak kisah.
Kota ini menyimpan rahasia rahasia yang hanya diperdengarkan kepada
telinga telinga dan hati yang mendengar. Tentu sahaja, Hidayah adalah
kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang
mencarinya.
Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa
hari yang lalu dari sahabat Muslim Srilanka yang berkerja disini. Ia
adalah chef (juru masak) yang bekerja di InterContinental Riyadh Hotel
bersamaku.
Sungguh cerita itu membuat mata saya berkabut. Air mata itu serasa
ingin menetas lagi saat saya menulisnya kembali. Semoga menjadi
perenungan dan tafaqur di Ramadhan ini. It’s ammazing, sungguh saya
merasakan pancaran energinya yang memperkokoh jiwa dan kesabaran.
Entahlah darimana saya harus memulainya. Saya tidak ahli dalam
bercerita, tapi ini adalah cerita nyata yang benar benar harus kalian
dengar..!!!
Harus kalian dengar tentang sebuah cerita nyata, keajaiban sabar…
A TRUE STORY, THE MIRACLE OF SABAR..
Sahabat sahabat mulia yang dimuliakan Allah.
Hidup diluar negeri itu memang berat, bisa jadi teramat berat jika
kita tidak memiliki keahlian tertentu yang membuat diri kita memiliki
‘nilai jual’.
Bekerja diluar negeri itu keras. Apa lagi berada diantara kerasnya
nuansa timur tengah! Jika masih ada pilihan lain, sebaiknya jangan
mencoba menjatuhkan pilihan di negeri yang tak ramah ini. Negeri sendiri
adalah tempat terbaik yang tidak akan pernah tergantikan.
Teman saya, mengatakan “Di desa itu justru indah. Disana kita bisa
menanam padi untuk makan, disana ada danau atau sungai dimana kita bisa
mengambil ikan sebagai teman nasi, kalau kita butuh sayur juga tinggal
tanam atau beli dengan harga murah..”
Saya bergumam dalam hati, “Iya benar..” Di Indonesia masih bisa
santai saat ac mati. Tapi di timur tengah? Kulit pasti tak akan tahan,
suhu udara rata rata kadang hingga 50 derajat celcius..
Negeri ini adalah hamparan gurun tandus. Badai debu bisa datang kapan
saja menyelimuti kota, menyesakan nafas nafas dan memperpendek jarak
pandang.
Disini beda dengan suasana di Ciwalk – Bandung. Setiap sore hingga
malam seru dengan pejalan kaki santai. Si akang tukang cireng laris
dikerumuni remaja atau mahasiswa hingga larut malam.
Tapi di Timur tengah?
Disini tak ada pedagang asongan, jangan harap bisa menemukan warteg dengan paket nasi goreng plus teh botol.. Disini hampir tidak terlihat pejalan kaki. Disini tidak ada mikrolet
atau angkot kuning jurusan setiabudi – cicaheum. Disini hanya ada taksi,
dan tak ada cerita jalan kaki. Kehidupan jalan tak ramah. Gedung-gedung
berdiri garang dan angkuh. Kota ini tidak ramah. Tak ada celah bagi yang belum siap berjuang dengan segala keahlian untuk menaklukannya.
Tapi meski demikian… Banyak para pekerja yang datang ke negeri ini.
Di hotel tempat saya bekerja saja ada sekitar 700 orang dari 17 Negara
berbeda. Saya mengenal banyak dari mereka. Ada beberapa dari Palestina,
Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari
Mesir dan Saudi Arabia sendiri.
Ada beberapa dari mereka dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika.
Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika. Saya mengenalnya
dengan nama Ammar Musthafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga
bekerja di Hotel ini.
Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja. Biasanya saya
melihat ia bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek renovasi
hotel di tengah terik matahari kota riyadh yang membakar kulit.
Hari itu Ammar tidak terlihat. Karena penasaran, saya coba tanya
kepada Iqbal tentang kabarnya. Iqbal adalah teman saya, seorang Muslim
dari Srilanka.
“Oh kamu tidak tahu?” jawab Iqbal balik bertanya, memakai bahasa
Ingris khas India yang bercampur dengan prononsiasi urdhu yang pekat.
“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?” Jawab saya.
Selepas itu, tanpa saya duga, Ikbal mulai bercerita panjang lebar
tentang Ammar. Ia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal
hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang
jauh. Seperti berusaha memanggil kembali sosok teman yang beberapa waktu
tinggal menumpang dikamar apartemennya. Saya mendengarkannya dengan seksama.
Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu,
tepatnya sekitar tahun 2004. Ia datang ke Negeri ini dengan tangan
kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari
kehidupan di Kota ini.
Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab
lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal
punya Pasport dan tiket. Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.
Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini saat
itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat
kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia
tinggal di apartemen teman-temannya.
Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan untuk keluarganya
di Sudan. Ia tetap mencari celah dan kesempatan agar bisa mengirim uang
untuk keluarganya di Sudan.
Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…Bulan ketiga
hingga tahun-tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir.
Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup
berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan
suasana Kota yang garang. Amar tetap bertahan dalam kesabaran.
Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak
tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan
kita masih bisa menemukan buah buah atau seteguk air dari sungai..
Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing. Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai
dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan
kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya
terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..
Amar seperti terjerat di belantara Kota ini. Pulang ke Sudan bukan
pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk
kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.
Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap
mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan
lapar dan dahaga untuk raganya disini.
Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan haus dan lapar
sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk
keluarganya di Sudan.
Tapi Ammar pun Manusia. Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman
temannya yang ia kenal, lima tahun sudah ia berpindah pindah kerja dan
numpang di teman temannya. Tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.
Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Sudan. Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.
Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang
untuk tiket pulang. Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk
pulang itu kepada teman-teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik
Ammar memahaminya, ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket
penerbangan ke Sudan.
Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini
dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana
saja.
Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya
dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini
sulit didapat karena imbas konflik di Libya, Negara tetangganya.
Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja. Ammar pun beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya. Ia memesan
dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal
terbang masih minggu depan.
Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan
karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang
inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal
pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.
Adzan dzuhur bergema… Semua Toko-toko, Supermarket, Bank, dan Kantor
Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga
jaga di luar kantor-kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah
selesai.
Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh. Ia
mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu..
memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting
dengan air.
Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Lalu ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah. Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan. Ia merasakan
terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam
ketenangan ditiap menit dalam sujudnya. Disanalah ia biasanya mengadu kepada kekasihnya… Pemilik Alam Semesta.
Ia mewarnai setiap sujudnya dengan isakan ketulusan, menghambakan dirinya kepada Allah azza wajala.. Shalat telah selesai. Ammar masih bingung untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi. Ditangannya hanya ada selembar tiket. Sakunya telah kering dari minggu
lalu. Semua uang yang ia dapati dari hasil kerjanya satu bulan terakhir
dikirim kerumah untuk makan anak anak dan istrinya.
Ia terdiam. Dilihatnya beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar
pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengambil salah satunya, bibirnya mulai
bergetar membaca taawudz dan menikmati al Qur’an hingga adzan Ashar tiba
menyapanya. Selepas Maghrib ia masih disana. Beberapa hari berikutnya,
ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan
tiba.
Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya. Seperti
pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu. Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa-jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa. Adzannya memang khas. Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince
di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.
Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh. Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia
harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.
Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk
mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak
kurang dari 30 menit dari pusat Kota.
Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara. Penerbangan sepertinya
sedikit ditunda, 15 menit sudah berlalu dari jadwal ia terbang.
Kecemasan mulai meliputinya.
Hatinya pilu, ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun.
Padahal lima tahun ini tidak sebentar, tapi ia tidak gentar. Lima tahun
itu ia lalui dengan sisa sisa kesabarannya, ia lega karena sudah
berusaha semaksimal mungkin. Ia memahami bahwa dunia ini hanya
persinggahan.
Ia tidak pernah mencemari kedekatannya dengan pemilik Alam semesta
ini dengan keluhan. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban
kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah
buat anak anaknya.
Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya. Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum
hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang
menghampirinya.
Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”. Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince.
Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu
Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan
diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing
masing.
Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid
tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu
menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang
biasa ia lantunkan.
Setiap kali Ammar adzan, Prince selalu bangun dan merasa terpanggil…
Hingga ketika adzan itu tidak terdengar lagi, Prince merasa kehilangan.
Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya
Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan
dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang..
Ammar sudah berhadapan dengan Prince. Prince menyambut Ammar
dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa
pulang ke Sudan?
Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini,
tapi tidak pernah mendapatkan kesempatan kerja dengan gaji yang cukup
untuk menghidupi keluarganya.
Prince mengangguk nganguk, ia bertanya: “Berapakah gajihmu dalam satu bulan?”
Amar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap.
Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan
tanpa gaji dinegeri ini.
Prince memakluminya. beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu terima?”
Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima
tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400″,
jawab Ammar.
Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang.
1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR
84.000 (Setara Rp. 184. 800.000).
Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar. Tubuh Amar bergetar melihat keajaiban dihadapannya. Belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah…
Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata: “Aku tahu,
cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan… Pulanglah temui
istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan.
Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh.
Jadilah Bilall dimasjidku.. hiduplah bersama kami di Palace ini”
Ammar tidak kuasa lagi menahan air matanya. Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin.
Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.
Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang
hari yang membakar kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman
tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.
Semua berubah dalam sekejap! Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar. Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah. Nothing Imposible for Allah,
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah..
Bumi inipun Milik Allah,..
Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Nya.
Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan. Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat
ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince.
Sungguh ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia
menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota
Riyadh.
Tidak sadar mata saya berkaca kaca.. Iqbal yang berceritapun terlihat mengeluarkan sapu tangan dan mengusapkan kewajahnya.
Subhanallah…
Seperti itulah buah dari kesabaran. ”Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya. Jika
kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu
belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan-Nya“.
35.
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (Fushilat 35)
Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.
Oleh: Nuruddin
Riyadh 2011
sumber : http://www.fadhilza.com/2016/06/kisah-hikmah/kisah-nyata-keajaiban-sabar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar