Memilih 10 nama dari ratusan pemimpin besar Islam (selain sahabat)
tentu bukanlah hal mudah. Bisa jadi pembaca punya idola dan pilihan
berbeda. Ada yang menyebut beberapa nama dan menggeser beberapa nama
yang kami sebutkan. Demikianlah sejarah. Ia bukan ilmu pasti seperti
matematika dan fisika. Ada garis batas yang kaku dan rumus yang jitu
untuk menentukan hasil tertentu. Sejarah tidak seperti itu.
10 nama ini dipilih berdasarkan peranan besar mereka dalam politik
dan strategi. Juga kemampuan dalam menghadapi tipu daya musuh yang
mengancam dan menipu. Bukan dari sisi prestasi dalam ilmu dan sastra.
Juga bukan dalam masalah hukum dan pengetahuan agama. Dan tentu saja, 10
nama ini dipilih agar umat Islam tahu tentang pahlawan mereka.
Dalam kurun 3 abad, nama-nama mereka dicatat sebagai tokoh besar dalam dunia militer.
Pertama: Abu Ja’far al-Manshur
Laki-laki tangguh ini adalah seseorang yang memegang peranan penting
dalam sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah. Dialah pencetus ide Daulah
Abasiyah. Dia juru taktik dan tokoh intelektual di belakang saudaranya
Abu al-Abbas as-Safah, khalifah pertama Daulah Abbasiyah.
Saat kekuasaan Daulah Umayyah telah masuk ke wilayah Andalusia hingga
Asia Tengah, mulailah terjadi kegoncangan. Damaskus (ibu kota Daulah
Umayyah) sulit me-manage wilayah kekuasaannya yang begitu besar
sekaligus memiliki ragam budaya yang berbeda. Para sejarawan
menyebutkan bahwa faktor utama runtuhnya Dualah Umayyah adalah kegagalan
mereka berinteraksi dengan ragam etnik dan budaya yang heterogen. Dan
di saat itu pula orang-orang Abbasiyah menyerukan perlawanan.
Abu Ja’far al-Manshur begitu jeli melihat kelemahan Daulah Umayyah.
Ia pandai memposisikan diri di kalangan orang-orang Persia dan Asia
Tengah. Ia tahu bagaimana mengarahkan potensi perbedaan etnik dan budaya
menjadi sebuah energi positif yang membangun, tidak melulu
menghembuskan energi negatif yang hanya memicu sengketa dan perpecahan.
Melihat geopolitik Timur Tengah saat ini, kecerdasan Abu Ja’far
al-Manshur menyatukan Persia dan Arab belum bisa ditiru oleh
pemimpin-pemimpin di era modern ini.
Di negeri yang sedang dibangun Abu Ja’far, tidak ada identitas
kesukuan. Identitas seseorang hanya disandarkan pada Islam saja.
hebatnya, ia juga mampu mengkompromikan antara budaya Arab dan Persia
yang dikenal sangat sulit bersatu. Para khalifah Abbasiyah berikutnya
mendapatkan warisan berharga berupa pondasi masyarakat yang kokoh.
Hingga karakter Abbasiyah ini luntur ditandai dengan munculnya Dinasti
Buwaihi dan Saljuk. Dan akhirnya runtuh di tangan bangsa Mongol pada
tahun 656 H/1258 M.
Kedua: Abdurrahman ad-Dakhil
Abdurrahman ad-Dakhil, anak muda bani Umayyah ini memiliki perjalanan
hidup yang luar biasa. Membaca kisahnya mendirikan Daulah Bani Umayyah
II seperti membaca kisah dongeng. Kalau Anda takjub dengan anak muda
membuat “kerajaan” bisnis; mendirikan perusahaan, sejuta pencapaian,
atau dengan Mark Zuckerberg yang mendirikan facebook, maka Anda akan
lebih takjub lagi dengan kisah Abdurrahman ad-Dakhil. Karena di usia
belia, ia mendirikan kerajaan dalam arti senyatanya. –atas izin Allah-
Ia mampu melakukan lobi-lobi politik tingkat tinggi, memimpin puluhan
ribu pasukan untuk tunduk pada komandonya, memadamkan puluhan
pemberontakan, menyelamatkan nyawa dari ribuan pedang, semua itu ia
lakukan sejak berusia 19 tahun.
Abdurrahman ad-Dakhil menjadi buronan Abbasiyah saat berusia 19
tahun. Menjadi penguasa tunggal di Andalusia pada usia 29 tahun. Dan
terus memegang kekuasaan selama sekitar 34 tahun.
Abdurrahman ad-Dakhil adalah cucu dari Khalifah Hisyam bin Abdul
Malik al-Umawi. Pada saat Daulah Abbasiyah berdiri, maka terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap bani Umayyah. Termasuk Abdurrahman
bin Muawiyah bin Hisyam ad-Dakhil menjadi sasaran. Ia pun kabur
menyelamatkan diri. Saat dalam pelarian itu, ia menyaksikan dua orang
saudaranya dibunuh di hadapannya. Ia terus berlari menuju Syam kemudian
Mesir lalu Maroko. Dari Maroko, ia menyeberang ke Andalusia. Di sanalah
ia mendapatkan gelar ad-Dakhil.
Sejak umat Islam masuk ke Andalusia pada tahun 92 H hingga masuknya
ad-Dakhil pada tahun 138 H, orang-orang Arab belum memiliki posisi yang
kokoh di Jazirah Iberia itu. Tidak sampai setahun, ad-Dakhil telah
berhasil mengokohkan posisinya di Cordoba. Dari Cordoba, ia berhasil
menguasai Zaragoza dan Barcelona. Kedua kota tersebut ia taklukkan atas
kecerdikannya melobi kekuatan militer bangsa Frank untuk membantunya.
Kemudian ia menguasai kota-kota lainnya.
Mengingat ruwetnya lobi politik partai-partai pasca pemilu, kita bisa
mengetahui bagaimana kehandalan politik anak muda yang bernama
Abdurrahman bin Muawiyah ini. Kalau level partai, level nasional saja
sulit menyatukan pendapat, kita jadi tahu bagaimana jitunya lobi
Abdurrahman ad-Dakhil yang bisa merangkul bangsa Eropa agar mau bekerja
untuknya.
Ketiga: Alib Arselan as-Saljuki
Garis batas wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk –orang-orang Turki-
meluas dengan pesat. Mulai dari Asia Tengah hingga ibu kota Daulah
Abbasiyah di Baghdad. Kekuatan dinasti ini terus tumbuh hingga ia
menjadi penguasa seluruh wilayah Islam. Dinasti ini menguasai
orang-orang Buwaihi dan melindungi Abbasi, khususnya dari gangguan Syiah
Fatimi (Daulah Ubaidiyah) yang menyebarkan ideologi Syiah Ismaili.
Di balik kejayaan Dinasti Saljuk ada nama Alib Arselan sebagai tokoh
utamanya. Orang-orang Turki patut berbangga karena lahir seorang Alib
Arselan di tengah-tengah mereka. Alib Arselan pernah memukul mundur
200.000 pasukan Romawi hanya dengan 20.000 pasukan saja. 1 banding 10.
Pasukan adidaya Romawi yang sudah berkuasa berabad-abad lamanya. Pasukan
yang kuat yang disangka tak terkalahkan itu takluk dengan pasukan yang
jauh lebih sedikit jumlahnya. Sejak saat itu, pengaruh Romawi di Asia
kecil melemah hingga akhirnya ditaklukkan oleh Muhammad al-Fatih.
Saat ini, melihat kebijakan Tayib Recep Erdogan saja kita kagum.
Bagaimana pula kiranya Alib Arselan yang berhasil meruntuhkan mental
negara adidaya kemudian menguasainya.
Keempat: Nuruddin Zanki
Nuruddin Zanki, ia adalah pahlawan Islam yang berhasil mengusir
tentara Salib diari tanah Suriah dan sebagian wilayah Palestina. Mungkin
namanya tidak sepopuler Shalahuddin al-Ayyubi, tapi dialah yang membuka
jalan bagi Shalahuddin untuk membebaskan Jerusalem.
Setelah menggantikan ayahnya sebagai penguasa Aleppo, Nuruddin
berusaha sekuat tenaga menyatukan wilayah-wilayah Syam. Ia membebaskan
Damaskus, Baalbek, Edessa, Harran, dan Mosul. Setelah itu ia mengarahkan
pasukannya menuju Palestina menghadapai Pasukan Salib. Ia juga
menghadapi orang-orang Salib di Mesir. Dan kemudian memasukkan
wilayah-wilayah tersebut di bawah kekuasaannya.
Sama seperti Alib Arselan, Nuruddin Zanki juga dikenal sebagai
seorang yang shaleh dan zuhud. Ia memberi perhatian yang besar terhadap
perkembangan agama Islam. Saa wafat pada tahun 569 H/1174, Nuruddin
telah membangun banyak masjid, madrasah, rumah sakit, dan rumah para
musafir.
Kelima: Shalahuddin al-Ayyubi
Shalahuddin al-Ayyubi adalah penerus perjuangan Nuruddin Zanki.
Dilahirkan dari suku Kurdi, Shalahuddin tumbuh besar di wilayah Syam
karena ayahnya pindah ke Aleppo membantu perjuangan Imaduddin Zanki,
ayah dari Nuruddin Zanki. Di Aleppo Shalahuddin kecil mempelajari agama
dan kemiliteran. Kemudian ia bergabung ke dalam pasukan pamannya,
Asaduddin Syirkuh, yang merupakan salah seorang panglima pasukan
Nuruddin Zanki.
Di bawah bimbingan Nuruffin Zanki, karir Shalahuddin terus menanjak,
hingga ia diamanahi untuk memimpin Mesir setelah mengusir orang-orang
Fatimiyah dari wilayah Sunni itu. setelah Nuruddin wafat, Shalahuddin
menempati kekuasaannya. Ia pun jadi pemimpin Mesir dan Syam. Misi
pembebasan Jerusalem pun dilanjutkan.
Pada Perang Hattin tahun 583 H/1187 M, Shalahuddin berhasil
mengalahkan Pasukan Salib. Dalam waktu hanya tiga bulan, wilayah-wilayah
yang dikuasai Tentara Salib; Acre, Beirut, Sidon, Nablus, Jaffa, dan
Ashkelon kembali ke tangan kaum muslimin. Kemudian Jerusalem setelah 88
tahun dikuasai oleh Pasukan Salib.
Biarlah mereka bercerita
tentang Achiles, sang pemberani dalam mitologi Yunani. Atau dongeng
manusia setengah dewa, Hercules. Kita –umat Islam- pun memiliki pahlawan
pemberani pula. Ceritakanlah kepada kepada anak-anak kaum muslimin
tentang Abdurrahman ad-Dakhil, atau Muhammad al-Fatih, atau Sulaiman
al-Qanuni. Agar mereka tahu siapakah yang lebih layak untuk jadi idola.
Keenam: Saifuddin Qutuz
Saifuddin Qutuz adalah orang kepercayaan Sultan al-Mu’iz Izuddin
Aibek dan anaknya, Sultan al-Manshur Ali. Salah satu prestasi
terbesarnya adalah mengalahkan pasukan Mongol yang tak terkahlahkan itu.
Ketika Mongol sampai di wilayah Syam, mereka mengutus duta kepada
Qutuz, agar menyerah dan tunduk kepada Mongol. Tunduk kepada orang Aisa
Tengah yang nomaden yang telah menjelma menjadi kekuatan dunia. Kekuatan
besar yang telah mengalahkan negeri sebesar Tiongkok. Kekuatan besar
yang tak ada satu pun negeri-negeri Timur mampu membuat mereka mundur.
Beberapa riwayat sejarah menyebutkan, Qutuz membalas sikap Mongol
yang menganggap remeh Daulah Mamluk ini dengan memenggal para utusan
itu. kemudian memajang kepala mereka di depan Gerbang Zuwaylah, salah
satu gerbang di Kota Kuno Kairo, Mesir. Hal ini menegaskan sikap Daulah
Mamluk, mereka menyambut genderang perang yang ditabuh Mongol terhadap
negara-negara Islam. Peristiwa ini mengawali perang besar yang kita
kenal dengan Perang Ainjalut. Perang paling bersejarah dalam perjalanan
Kota Kairo. Perang yang –atas izin Allah- menyelematkan peradaban Islam
dari keganasan bangsa Mongol.
Mengalahkan Mongol hanya dengan bermodal keberanian, sama saja
menyerahkan leher-leher kaum muslimin untuk disembelih. Tentu butuh
strategi dan perhitungan yang jitu. Mongol telah mengalahkan Cina,
bangsa yang kuat dan memiliki peradaban yang mapan. Mengalahkan
Abbasiyah yang telah berkuasa di tanah Arab berabad-abad. Oleh karena
itu, pencapaian Qutuz dengan mengalahkan Mongol adalah sesuatu yang luar
biasa. Selain itu, moral kaum muslimin pun kembali meninggi.
Ketujuh: Yusuf bin Tasyafin
Yusuf bin Tasyafin, sang singa Murabithin. Kecerdasannya tampak saat
Penguasa Murabithin di Maroko, Amir Abu Bakar, menunjuknya sebagai
penguasa wilayah Sijilmasa. Kemudian Abu Bakar menyerahkan kekuasaan
Daulah Murabithin kepadanya secara utuh. Dimulailah masa keemasan
Murabithin hingga 45 tahun berikutnya.
Yusuf mulai membangun kota Marrakesh. Memperluas kekuasaan Murabithin
hingga meliputi seluruh wilayah Maroko dan Aljazair. Kemudian menuju
Andalusia, menyelamatkan kaum muslimin setelah jatuhnya Kota Toledo ke
tangan orang-orang Nasrani. Ia terus masuk ke Andalusia hingga berhasil
mengalahkan Raja Alfonso dari Kerajaan Kastilia pada tahun 479 H/1086 M.
Kedelapan: Muhammad al-Fatih
Muhammad al-Fatih adalah seorang pemimpin Daulah Utsmani yang sangat
dikenal. Ia memegang kekuasaan Utsmani pada tahun 855 H/1451 M dan
berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 857 H/1453 M. Ia
memerintah kerajaan ini selama 30 tahun.
Selain digelari dengan al-Fatih, ia juga disebut dengan Kaisar
Romawi, karena mewarisi kerajaan Romawi Bizantium. Ia juga dikenal
dengan Tuan Dua Benua dan Dua Lautan, karena menguasai Anatolia dan
Balkan serta merajai Laut Aegea dan Laut Hitam.
Masa pemerintah Muhammad al-Fatih dikenal dengan masa reformasi
Daulah Utsmani. Ia membuat tata aturan yang berlaku merata di wilayah
kekuasaannya. Keistimewaan pemerintahannya ditandai dengan penjagaan
luar biasa terhadap masyarakat pedangang dan perkembangan diplomasi
dengan wilayah-wilayah tetangga.
Selain dikenal sebagai pembuka jalan masuknya Islam ke Eropa,
Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang yang toleran. Semua
lapisan masyarakat Istanbul mengetahui hal itu. Ia sering berdiskusi
dengan cendekiawan Itali dan Yunani di Kota Balata. Menunjukkan betapa
terbukanya dia. Dalam pemerintahannya, gereja Kristen ortodoks di Turki
tetap berjalan normal seperti sebelumnya, hingga ditutup di masa
pemerintahan Turki modern di abad ke-20.
Kesembilan: Sultan Salim I
Hanya 8 tahun saja Sultan Salim I memerintah Daulah Utsmani, namun
pencapaiannya begitu luar biasa. Mesir, Suriah, dan Hijaz menjadi bagian
dari Utsmani. Inilah kali pertama Daulah Utsmani menjadi penguasa
wilayah bumi terbesar.
Pada masa pemerintah Sultan Salim I, muncul ancaman di wilayah timur
Utsmani dari Kerajaan Syiah Shafawi di Iran. Orang-orang Persia itu
mulai mengancam Anatolia. Sultan Salim I “membeli” “dagangan” mereka.
terjadilah pertempuran melawan Syiah Shafawi di perbatasan Timur
Utsmani, di Sungai Eufrat, pada tahun 920 H/1514 M. Dari peperangan
tersebut, wilayah Turkmenistan dan Kurdistan menjadi bagian dari
Utsmani.
Pada tahun 922 dan 923 H/1516 dan 1517, wilayah Mesir dan Syam
menjadi wilayah Utsmani. Kemudian syarif Mekah menyerahkan kekuasaannya
atas Mekah dan Madinah kepada Sultan Salim I di Kairo.
Kesepuluh: Sultan Sulaiman al-Qanuni
Setelah Sultan Salim I wafat, kekuasaan Utsmani dipegang oleh
anaknya, Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Sultan Sulaiman
mengikuti kebijakan pendahulunya dalam kemiliteran. Namun di masa
pemeritahannya, hukum, kebudayaan, dan tata kota lebih tersusun rapi.
Oleh karena itu, masa pemerintahannya terkenal dengan puncak kejayaan
peradaban Utsmani.
Pada masa Sultan Sulaiman wilayah Beograd –ibu kota Serbia sekarang-,
Rhodes, Hungaria, dan Wina –ibu kota Austria- menjadi wilayah Turki
Utsmani. Sultan Sulaiman melakukan aktivitas militer besar-besaran
sebanyak tiga kali menghadapi Daulah Shafawi yang berpaham Syiah.
Pertama pada tahun 941 H/1534 M ketika orang-orang Shafawi masuk ke Kota
Erzurum di bagian timur Turki sekarang. Kedua, pada tahun 955 H/1548 M
terjadi kontak senjata atas wilayah Danau Van. Ketiga, tahun 961 H/ 1554
M.
Di masa ini juga muncul seorang pemimpin angkatan laut Utsmani yang
terkenal, Khairuddin Barbarosa. Barbarosa adalah seorang panglima
angkata laut terbaik dalam sejarah Islam. Jasanya sangat besar dalam
menjaga Laut Mediterania, Pantai Yunani, Venice (kota di Italia), dan
Spanyol.
sumber : https://kisahmuslim.com/5323-10-pemimpin-besar-dalam-sejarah-islam-22.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar