Kisah perlawanan rakyat Gowa mempertahankan Benteng Somba Opu dari gempuran pasukan kompeni.
KARAENG
Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa, menentang
keputusan Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVII (memerintah 1653-1669) yang
menandatangani perjanjian damai Bongaya dengan Belanda pada 16 November
1667. Karunrung memilih terus berjuang.
Karunrung yang bermukim di istana megah di Bontala, mempersiapkan
diri. Pada 21 April 1668 pecahlah kembali perang. Pasukannya dengan
cerdik menembus beberapa blokade pasukan dan menuju benteng Jumpandang
–sekarang Fort Rotterdam– yang telah dikuasi Belanda (baca: Di Balik Fort Rotterdam).
Dalam catatan hariannya, Speelman, komandan pasukan Belanda, tak
menampik kehebatan dan kemampuan perang orang Makassar. “Pertempuran
pertama sangat sengit dan banyak orang-orang Belanda mati dan
luka-luka.”
Aksi-aksi penyerangan Karunrung membuat pasukan Belanda dan sekutunya
Arung Palakka dari Kerajaan Bone, kelimpungan. Menurut Guru Besar
Universitas Hasanuddin, Mattulada dalam Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Arung Palakka pun menderita luka-luka.
Sementara benteng-benteng yang dalam perjanjian Bongaya harus
dihancurkan, malah diperkuat kembali oleh Karunrung. Serangan kedua pada
5 Agustus 1668, pasukan Makassar membuat gerakan pancingan yang
menyusup ke Fort Rotterdam. Namun, Arung Palakka meyergapnya. Pasukan
Makassar mundur teratur, dan terus dikejar pasukan Arung Palakka.
Arung Palakka yang merasa sudah memukul mundur pasukan Karunrung,
tiba-tiba di suatu titik dikepung oleh pasukan Makassar yang muncul dari
persembunyian. Keadaan berbalik. Pasukan Arung Palakka terdesak.
Kejadian ini terekam dalam catatan dan arsip pemerintah Belanda: “Arung
Palakka dan pasukannya zouden in de pan gehakt zijn (akan musnah tergunting) andai kata tidak cepat dibantu oleh pasukan Belanda dan Ternate.”
Berikutnya, serangan serempak terjadi pada 12 Agustus 1668. Namun,
karena terburu nafsu dan perhitungan tidak begitu tepat, serangan itu
tak mencapai sasaran. Akibatnya, 27 pucuk meriam jatuh ke tangan
Belanda.
Di balik Fort Rotterdam, kamp pertahanan Belanda keadaan begitu
menyedihkan. Setiap hari tujuh hingga delapan pasukan meninggal. Lima
orang dokter meninggal dunia, 15 orang pandai besi meninggal. Dalam
tempo empat minggu 139 orang mati. Bahkan, Speelman sendiri sakit dan
harus cuti sebulan.
Menyerang Somba Opu
Dalam keadaan genting itu, Belanda diam-diam
memberangkat 108 pasukan yang sakit ke Jepana. Namun, dalam perjalanan
100 orang meninggal termasuk komandan benteng Van der Straen. Tetapi,
Speelman melalui Kapten Dupon, meskipun dalam keadaan kepayahaan, tetap
menghimpun kkekuatan untuk menggali parit-parit menuju benteng Somba
Opu, tempat bermukim Sultan Hasanuddin.
Speelman merencanakan penyerangan secara penuh ke
benteng Somba Opu sembari menunggu bantuan dari Batavia. Pada April
1669, meriam-meriam bersakala ledak besar diarahkan ke Somba Opu. Saat
bantuan mulai berdatangan, pada 15 Juni 1669, Speelman mengibarkan
bendera merah untuk melakukan serangan total. Perang pun pecah. Pasukan
pertahanan dari Somba Opu menyambutnya dengan gegap gempita. Sebanyak
30.000 peluru dimuntahkan Belanda ke jantung Somba Opu.
Perang yang berlangsung selama tiga hari itu
akhirnya dimenangkan Speelman. Dengan bantuan sekutu Belanda dari
pasukan-pasukan Ambon, bendera perang Speelman dipancangkan di dinding
Somba Opu. Tapi bendera kemenangan bukanlah akhir segalanya, dalam
benteng perlawanan tak padam. Perkelahian antara orang per orang terjadi
dengan sengitnya. Setapak demi setapak tanah dalam benteng Somba Opu
dipertahankan hingga tetes darah terakhir.
Sepuluh hari kemudian, pada 24 Juni 1669 Speelman
barhasil mengambilalih secara penuh Somba Opu. Sebanyak 270 meriam besar
dan kecil dirampas. Setelah itu, Somba Opu diratakan dengan tanah,
ribuan pond mesiu meledakkan istana, mayat-mayat bergelimpangan bersama
ledakan dan api menjilat kemana-mana. “Diambil alihnya Somba Opu oleh
Speelman menjadi titik utama keruntuhan Kerajaan Gowa,” kata Sejarawan
Universitas Hasanuddin Makassar, Edwar Poelinggomang.
Padahal menurut Edwar, senjata pasukan Kerajaan
Gowa merupakan yang tercanggih di masanya. Ada meriam putar yang sangat
mahal. Dan tentu saja beberapa senjata yang diperoleh dari jalur niaga
bebas. “Pasukan Makassar (Kerajaan Gowa) saat itu, tak memiliki strategi
yang mumpuni. Pertempuran dilakukan harus saling berhadapan. Yang
bersumbunyi dianggap pengecut, maka tak heran ada banyak pasukan yang
tewas,” katanya.
Akhirnya, Karunrung mengakui kekalahan. Perjanjian
damai abadi diadakan di Batavia pada 20 Desember 1669. Delegasi dari
Gowa antara lain I Mappasomba mewakili Sultan Hasanuddin dengan 140
pengikutnya, dan Karunrung diwakili putranya.
sumber : http://historia.id/kuno/jalan-tarung-karaeng-karunrung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar