Pembunuhan atlet Olimpiade Israel oleh sekelompok orang Palestina, yang
menamakan diri "September Hitam", dibalas dengan operasi intelijen yang
berdarah.
Agen rahasia Israel, Mossad, membunuh Ali Hassan Salameh pada 22
Januari 1979 di Beirut, sebagai pembalasan atas pembunuhan atlet Israel
pada Olimpiade Munich, Jerman, September 1972.
Foto: einestages.spiegel.de.
Foto: einestages.spiegel.de.
21
Juli 1973, sekira pukul 10:30. Seusai menonton bioskop, seorang pria
berkulit gelap, menggandeng tangan istrinya yang sedang hamil, menyusuri
Jalan Porobakakan di Lillehammer, Norwegia. Tiba-tiba, sebuah mobil
berhenti di samping mereka. Dua pria keluar dan dengan pistol Beretta
menembak sang calon ayah. Dia meninggal diiringi jeritan istrinya.
Para pembunuh itu bekerja untuk dinas rahasia
Israel, Mossad. Mereka yakin telah membunuh seorang Palestina Ali Hassan
Salameh yang dijuluki “Pangeran Merah.” Menurut hasil penyelidikan
Mossad, Ali Hassan Salameh adalah satu dari delapan orang Palestina yang
menamakan diri “September Hitam” dan menyandera atlet Israel dalam
Olimpiade Munich, Jerman, tahun 1972. Dalam penyanderaan tersebut,
sebelas atlet Israel, lima pelaku penyanderaan, dan seorang polisi
Jerman tewas.
Sejak “pembunuhan Munich” agen-agen Israel mengejar
orang-orang di balik penyanderaan itu. Ini adalah operasi terorganisir
pemerintah Israel dalam skala besar. Wartawan Time, Aaron Klein, dalam bukunya The Avengers, menyebutnya sebagai “Operasi Murka Tuhan”.
Hanya tiga hari setelah tragedi tersebut, pesawat
tempur Israel menyerang kamp Palestina di Lebanon dan Suriah. “200 orang
meninggal dunia, menurut data Israel, semata-mata teroris,” tulis Peter
Maxwill dalam Spiegel Online (19/7). Selain itu, pemerintah
Israel di Yerusalem mengirim 1.350 tentara ke Lebanon Selatan, dan
menembak mati 45 orang, ratusan rumah hancur. Itu operasi militer
balasan yang berdarah. Tapi pembalasan yang sebenarnya diumumkan Perdana
Menteri Israel Golda Meir: “Di mana pun serangan sedang dipersiapkan,
di mana pun orang membunuh orang Yahudi dan rencana Israel –tepat di
mana kita harus menyerang.”
Untuk memburu para penyandera “September Hitam”,
pemerintah Israel membentuk operasi intelijen Caesarea yang dipimpin
perwira Mossad, Michael Harari. Agen-agen Caesarea menghabisi
orang-orang yang dituduh terlibat dalam tragedi Munich, seperti penulis
Wael Zweiter, yang bekerja sebagai penerjemah di Kedutaan Libya di Roma;
sejarawan Mahmoud Hamshari; pengacara Irak Basil al-Kubaissi;
wakil-wakil pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Muhammed
Jussuf Nadschar, Kamal Adwan, dan Kamal Nassir.
Namun, lelaki yang dibunuh di Lillehammer ternyata
bukan Ali Hassan Salameh, tapi Ahmed Bouchiki, seorang pelayan asal
Maroko. “Tim Caesarea telah membunuh orang yang tidak bersalah,” tulis
Peter Maxwill. Polisi Norwegia menangkap setengah lusin agen Israel,
lima di antaranya dijatuhi hukuman beberapa tahun penjara.
Mossad baru berhasil membunuh Ali Hassan Salameh
pada 22 Januari 1979 dengan meledakkan mobil yang dikendarainya. Akibat
ledakan itu, duabelas orang pejalan kaki ikut tewas. Pada Juni 1992,
duapuluh tahun setelah tragedi Munich, kepala intelijen PLO Reny Bseiso
ditembak dua orang asing yang mendekatinya, dalam perjalanan kembali ke
Paris dari pertemuan di Berlin.
Reny Bseiso mungkin korban terakhir dari Caesarea.
Tapi, menurut Peter Maxwill mereka belum mencapai tujuan mereka karena
terduga lainnya seperti pendukung Abu Ijad dan Abu Daoud belum
tertangkap.
Akibat salah sasaran, pada Januari 1996, Perdana Menteri Shimon Peres
memberikan kompensasi kepada keluarga Bouchiki sebesar 400.000 dolar,
tapi dengan satu syarat: “Israel tak akan bertanggungjawab,” kata Peres,
dalam konferensi pers, “karena Israel bukan organisasi pembunuhan.”
sumber : http://historia.id/mondial/operasi-intelijen-caesarea-memburu-september-hitam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar